Tanah Warisan 4

Tanah Warisan 4


Lanjutan dari jilid 3

Sementara itu Bramanti telah kembali duduk di bawah pohon sawo. Tangannya masih juga menggenggam rautan bambu. Tetapi matanya tidak menatap kepekerjaannya. Di pandanginya bayang-bayang dedaunan yang disiram oleh sinar matahari di atas tanah yang kering. Bergerak-gerak oleh angin yang lemah.


Tiba-tiba Bramanti itu terkejut ketika kemudian langkah tergesa-gesa memasuki regol halamannya. Kemudian dilihatnya Panjang datang kepadanya dengan nafas terengah-engah.

“Kenapa kau Panjang?”

Panjang duduk disamping Bramanti. Dicobanya untuk mengatur nafasnya sambil mengibas-ibaskan lengan bajunya.

“Kenapa kau Panjang? Apakah kau dikejar hantu?”

Panjang menggeleng. “Aku di kejar anjing”

“Ah.”

Panjang bergeser setapak, lalu seakan-akan berbisik ia berkata, “Orang itu telah dilepaskan lagi.”

“Siapa maksudmu?”

“Pengikut Panembahan Sekar Jagat.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia bertanya Ki Tambi telah muncul dari balik pintu. “Ha, kau Panjang.”

“Ya paman.”

“Apakah ada berita baru mengenai Ki Demang, atau Ki Jagabaya atau mengenai kau sendiri?” bertanya Ki Tambi sambil mendekat.

Panjang tidak segera menyahut. Namun Bramantilah yang menjawab, “Ada paman. Tentang orang yang sedang sakit itu.”

“Kenapa dengan orang itu?”

Bramanti berpaling ke arah Panjang. Desisnya, “Benarkah begitu? Orang itu dilepaskan?”

“Dilepaskan?” Ki Tambi mengulang.

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya paman. Orang itu telah dilepaskan.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Desisnya, “Aku sudah menyangka. Tetapi apakah alasan Ki Demang kali ini?”

“Sama seperti lagunya yang lama. Untuk kepentingan Kademangan ini.”

“Dan apa kata Ki Jagabaya dan bebahu Kademangan yang lain?”

“Sama saja seperti yang pernah terjadi. Mereka diam saja sambil memberengut.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Apa katamu Bramanti?”

Bramanti termenung sejenak. Dan hati-hati ia menyahut, “Apakah orang itu sama sekali sudah tidak berguna paman?” 

“Sebenarnya orang itu diperlukan disini. Mungkin dapat kita jadikan tanggungan, meskipun kemungkinan itu kecil sekali. Karena bagi orang-orang seperti Panembahan Sekar Jagat, mereka yang sudah tidak berguna, pasti akan dibiarkannya saja. Bahkan mati sekalipun. Tetapi kepentingan kita yang lain, kita akan dapat gambaran tentang kekuatan Panembahan Sekar Jagat daripadanya.”

“Orang itu tentu tidak akan mengatakannya.”

“Kita dapat memaksanya.”

“Itulah yang Ki Demang sama sekali tidak berani melakukannya.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian desahnya, “Aku tahu akibat dari tindakan Ki Demang itu. Akulah orang yang pertama-tama akan menjadi sasaran. Aku pasti dianggapnya orang yang akan dapat mengganggu kekuasaannya di Kademangan ini.”

“Kenapa paman Tmabi yang dituduhnya?”

“Aku sendiri pernah mengatakan kepada orang itu, bahwa kita tidak akan tetap tinggal diam untuk selama-lamanya. Aku mengatakannya juga di Kademangan, di depan orang itu, bahwa kita memang harus bangkit.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia mendengar Ki Tambi berkata pula, “Tetapi itu adalah akibat yang wajar. Aku memang sudah memperhitungkannya. Dan aku harus berani menghadapi mereka, apalagi seorang diri. Tetapi apa boleh buat.”

“Tetapi paman tidak seorang diri.”

“Siapa yang dalam keadaan ini bersedia memihakku?”

Panjang terdiam sejenak. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Namun ia hanya dapat menelannya kembali. Meskipun demikian Ki Tambi dapat menangkap sorot mata itu, sehingga ia berkata, “Mungkin ada juga orang lain yang tidak rela melihat hal serupa itu terjadi. Tetapi apa artinya apabila mereka tetap tinggal diam.”

Panjang menggigit bibirnya. Dan dengan sendat ia akhirnya berkata, “Aku akan berusaha paman, agar paman tidak harus menghadapi mereka seorang diri.”

“Siapakah yang akan kau seret ke dalam kesulitan itu?”

“Bukan maksudku, tetapi adalah menjadi kuwajiban kita bersama. Aku sendiri sudah tentu menyediakan diri. Mungkin Temunggul juga dapat dibawa serta karena ia takut kehilangan Ratri. Mungkin juga Ki Jagabaya seandainya ia dapat sedikit melepaskan diri dari pengaruh Ki Demang. Dan mungkin masih banyak lagi. Bagaimanapun juga aku akan tetap berusaha.”

“Terima kasih Panjang,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu dipandanginya wajah Bramanti dalam-dalam. “Dan kau Bramanti?”

Pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu, maka ia pun tidak segera dapat menjawab.

“Aku wajib memperingatkan kau Bramanti,” berkata Ki Tambi itu kemudian. “Orang yang dilepaskan itu menganggap bahwa orang yang bernama Putut Sabuk Tampar itu berada di Kademangan ini. Nah, apakah kau tahu artinya?”

Bramanti menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya paman. Orang itu pasti akan datang kembali mencari orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar di Kademangan ini.”

“Nah, kau sadari bahaya itu?” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang lebih berbahaya lagi bagimu Bramanti, orang itu sebelum pingsan seolah-olah ingin mengatakan, bahwa kaulah agaknya orang yang telah melukainya dan menamakan diri Putut Sabuk Tampar.”

“Kenapa aku? wajah Bramanti menjadi tegang.

“Aku tidak tahu. Bertanyalah kepadanya kelak, apabila ia datang ke rumah ini. Dan ia pasti akan datang bersama orang-orang lain yang lebih kuat.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih berkata, “Aku akan mengungsi paman. Kalau aku mendengar derap kuda-kuda itu, aku akan lari ke sungai.”

“Tetapi bukankah kau pernah berkata, bahwa kau sanggup berbuat apa saja sesuai dengan kemampuanmu, apabila kau tidak berbuat sendiri? Nah, sekarang kau telah mempunyai beberapa orang kawan. Apa katamu?” 

Bramanti merasa semakin tersudut. Namun ia masih menjawab, “Paman, jangan perhitungkan aku. Betapa aku ingin membantu, tetapi tenagaku sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi paman dan bagi orang-orang yang lain. Aku harap bahwa Temunggul akan bangun dari tidurnya. Meskipun seandainya ia khusus berbuat untuk Ratri.”

“Mudah-mudahan,” terdengar Panjang berdesis.

“Baiklah,” gumam Ki Tambi kemudian, “Aku harus bersiap sejak sekarang. Aku berterima kasih kepadamu Panjang, apabila kau tidak membiarkan aku berdiri seorang diri.”

“Aku akan berusaha untuk menemukan orang-orang lain. Aku pun mengharap pada saatnya orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu pun tidak akan berdiam diri. Aku masih mengharap orang lain lagi untuk ikut serta membebaskan Kademangan ini,” berkata Panjang.

“Siapakah orang itu?” bertanya Ki Tambi.

“Ia sudah menyangkutkan diri pada saat aku melakukan pendadaran. Orang yang membebaskan aku dari kuku-kuku dan taring harimau itu. Namun aku masih tetap menyangka, bahwa orang itu sama orangnya dengan Putut Sabuk Tampar.”

Panjang mencoba mencari kesan pada wajah Bramanti. Tetapi wajah itu seakan-akan tidak memberikan tanggapan apapun.

“Mudah-mudahan,” desis Ki Tambi. “Aku akan mempersiapkan diri sejak sekarang. Mungkin orang itu akan segera kembali. Mungkin malam nanti dan mungkin besok. Aku akan memasang kentongan di rumahku. Aku akan memukulnya apabila orang-orang itu datang ke rumahku. Nah, apakah kau sependapat dengan isyarat ini Panjang?”

“Ya. Aku akan memberitahukan kepada kawan-kawan yang bersedia ikut membantu paman. Kami pun akan memasang kentongan itu pula, supaya berita itu segera tersebar di seluruh Kademangan. Orang-orang yang sanggup berbuat sesuatu untuk Kademangannya akan bangkit setiap saat. Disetujui atau tidak disetuju oleh Ki Demang.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian desisnya, “Ah, aku sudah terlampau lama berada di rumahmu Bramanti. Aku akan minta diri kepada ibumu.”

Sebelum Bramanti menjawab, Ki Tambi itu berjalan tergesa-gesa untuk minta diri kepada ibu Bramanti, dan seterusnya bersama Panjang meninggalkan halaman rumah itu.

Tinggallah kemudian Bramanti berdiri termangu-mangu. Sejenak ia merenungkan kata-kata Ki Tambi tentang orang yang baru saja dilepaskan oleh Ki demang itu.

Tanpa sesadarnya Bramanti mengayunkan kakinya. Namun ia tidak kembali ke bawah pohon sawo, tetapi ia langsung pergi ke kandangnya yang masih saja kosong. Kandang yang sudah diperbaiki dan diberinya berdinding. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya. Pikirannya melambung jauh ke dunia angan-angannya.

Tiba-tiba Bramanti itu bangkit. Ditutupnya pintu kandangnya dan dipalangnya dari dalam. Kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke sudut kandang itu dengan sebuah cangkul di tangan.

Dengan tergesa-gesa pula ia menggali sebuah lubang di sudut kandang itu. Semakin lama semakin dalam. Sehingga akhirnya terasa cangkulnya menyentuh sesuatu.

Cangkul itu pun kemudian diletakkannya. Dengan tangannya ia menggali beberapa jari lagi. Kemudian dengan dada yang berdebar-debar diungkitnya sesuatu. Pedang pendek, di dalam lapisan beberapa helai kulit.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Pedang pendek dengan sebuah tangkai ukiran seperti keris. Tetapi kepala seekor ular naga.

Dibelainya pedang pendek itu seperti membelai lengan seorang sahabat yang telah lama tidak bertemu.

Meskipun kulit pembalut pedang pendek itu sebagian telah rusak, namun pedang pendek beserta wrangkanya, masih tetap bersih. Sehingga pedang itu seolah-olah seperti pada saat Bramanti menanamnya kira-kira sepuluh tahun yang lampau.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sekilas kenangannya terbang di dalam kepalanya. Pada saat ia bertekad meninggalkan kampung halamannya. Diam-diam ia menanam pedang pendek pusaka ayahnya tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Dan ternyata pedang itu kini telah di dalam genggamannya kembali

“Tetapi aku tidak akan dapat membawanya setiap saat,” Bramanti berdesis.

Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Di edarkannya pandangan matanya ke sekeliling kandangnya. Sambil mengerutkan keningnya ia mencari tempat yang paling baik untuk menyimpan pusaka itu.

Sejenak kemudian Bramanti melangkah ke sudut. Hati-hati ia memanjat tiang, dan kemudian diletakkannya pedang pendek itu di atas blandar.

“Tempat itu tidak akan mudah diketahui orang,” desisnya.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Bramanti melangkah menjauh sambil mencoba menatap blandar itu. Tetapi pedang itu sama sekali tidak tampak.

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kakinya menyentuh tanah yang teronggok di samping lubang yang digalinya, maka dengan tergesa-gesa ditimbunnya lubang itu kemudian ditaburkannya beberapa jemput jerami kering di atasnya, untuk menghilangkan jejak yang mungkin akan menumbuhkan berbagai pertanyaan kepada mereka yang kebetulan melihatnya. Apakah, ibunya, apakah Panjang atau orang lain lagi.

“Aku mungkin akan memerlukan pedang itu,” katanya di dalam hati. “Apabila benar kata paman Tambi bahwa orang-orang itu akan datang ke rumah ini.”

Bramanti kemudian meletakkan dirinya duduk di atas onggokan jerami kering di sudut kandangnya. Setiap kali selalu terngiang kata-kata Ki Tambi tentang kemungkinan itu. Dan itulah agaknya yang telah mendorongnya untuk menggali senjatanya yang telah sekian lamanya tertanam.

“Ada dua kemungkinan,” berkata Bramanti di dalam hatinya. “Mungkin orang-orang Panembahan Sekar Jagat akan datang untuk mencari orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar seperti yang dikatakan oleh paman Tambi. Dan kemungkinan lain, Panembahan Sekar Jagat akan mencari Panggiring di rumah ini, apabila pada suatu ketika Panembahan Sekar Jagat mengetahui, bahwa Panggiring adalah anak Candi Sari dan berasal dari halaman ini. Agaknya nama Panggiring akan semakin meluas dan menumbuhkan persoalan di antara mereka.”

Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dihentakkannya tangannya sambil menggeram, “Aku akan menghadapi segala kemungkinan. Panembahan Sekar Jagat yang akan mencari Putut Sabuk Tampar atau mencari Panggiring. Atau kemungkinan yang lain, apabila Panggiring sendiri datang untuk menguasai Kademangan ini pula dengan cara yang kasar. Apalagi ternyata bahwa ayahnya adalah seorang Demang pula semasa hidupnya. Maka akan datang suatu saat itu datang untuk menuntut haknya dan sekaligus memeras Kademangan ini melampai Panembahan Sekar Jagat sendiri.”

Bramanti itu tersadar dari dunia angan-angannya ketika ia mendengar ibunya memanggilnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan melangkah ke pintu kandang yang masih tertutup. Sekali lagi ia berpaling ke arah blandar tempat ia menyembunyikan senjatanya. Sambil menarik nafas ia berdesah. “Tidak tampak sama sekali.”

Demikianlah, meskipun Bramanti masih saja sering duduk di bawah pohon sawo sambil menganyam keranjang, namun ia benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. Bahkan kini ia menjadi semakin sering mengurung diri di dalam kandangnya, sambil membawa rautan bambu. Dikerjakannya pekerjaan anyamannya tepat di tengah-tengah pintu kandang.

Meskipun demikian, sekali-kali Bramanti masih juga sempat pergi ke sungai. Kadang-kadang ia mencuci pakaian, mandi dan berjemur sambil menunggu pakaiannya kering. Bahkan kadang-kadang ia juga mencari ikan dan membuat rumbon.

Namun Bramanti masih belum berhasil menempatkan dirinya seperti kawan-kawannya yang lain. Masih terasa ada jarak antar dirinya dan kawan-kawan sepermainan di masa kanak-kanak. Apalagi mereka yang merasa, bahwa orang-orang tua mereka ikut terlibat dalam kematian ayah Bramanti, meskipun Bramanti sendiri sudah sekian kali mengatakan, bahwa ia tidak mendendam mereka. Bahkan ia telah menunjukkan bahwa sebenarnya ia tidak akan mampu melakukannya, meskipun seandainya ia berhasrat demikian. Bramanti telah menunjukkan bahwa senjata adalah alat yang asing baginya. Perkelahian adalah sesuatu yang tidak dikenalnya. Apalagi melepaskan dendam.

Tetapi jarak itu masih belum menjadi lebih sempit, meskipun satu dua orang dari antara mereka sudah mulai tidak menghindarinya apabila mereka berpapasan.

Hanya Panjang dan Tambi sajalah yang masih sering datang kepadanya. Sekali-kali mereka berbicara panjang lebar tentang beberapa macam anyaman. Tetapi tiba-tiba baik Panjang maupun Tambi sering mendorong pembicaraan mereka ke arah yang mereka kehendaki. Namun setiap kali Bramanti terdiam dan memandangi mereka dengan penuh pertanyaan.

Sekali Tambi berceritera tentang orang-orang Panembahan Sekar Jagat dan lencana Panggiring yang ditunjukkannya dan di kesempatan lain ia berceritera tentang usahanya untuk mempengaruhi Panembahan Sekar Jagat dengan alat lencana Panggiring disertai dengan beberapa penjelasan.

“Itu akan sangat berbahaya paman,” berkata Panjang. “Bukankah orangnya yang tertawan itu telah berkata bahwa Panembahan Sekar Jagat menjadi marah sekali.”

“Mungkin Sekar Jagat belum menyakini tentang kekuatan Panggiring.”

“Dan ia menganggap bahwa Panggiring tidak berani mendatangi tantangannya. Bukankah begitu?” bertanya Panjang.

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Pembicaraan yang demikian telah membuat Bramanti setiap kali merenung. Kenapa Ki Tambi bersusah payah meminjam pengaruh nama Panggiring? Panggiring. Panggiring.

Nama itu selalu melingkar di telinganya.

“Apakah sekarang kakang Panggiring benar-benar menjadi orang yang tidak terkalahkan?” pertanyaan itu pun sering mengganggu hatinya.

Namun Bramanti masih tetap seperti Bramanti sehari-hari, yang seolah-olah terpisah dari pergaulan di Kademangan Candi Sari.

Itulah sebabnya maka ia sering berada di pinggir sungai sambil menunggui kain panjangnya yang dijemurnya seorang diri sambil mereka-reka masa yang akan dihadapinya.

“Sampai saat ini Panembahan Sekar Jagat masih belum berbuat sesuatu,” desisnya. “Apakah ada yang di tunggunya? Apakah ia menunggu suatu saat untuk menerkam korbannya yang dianggapnya sudah menjadi lengah?”

Tetapi Bramanti tidak dapat menemukan jawabannya. Seandainya hal itu benar-benar akan terjadi, maka ia hanya dapat menunggunya. Menunggu Panembahan Sekar Jagat atau orang-orangnya memasuki halaman rumahnya, apabila yang dikatakan Ki Tambi itu benar, karena mereka menyangka, bahwa Putut Sabuk Tampar ada di dalam halaman rumah itu.

Bramanti menarik nafas.

Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar suara halus memanggilnya. Perlahan-lahan dari jarak yang agak jauh sehingga suara itu seolah-olah di antara terdengar dan tiada.

“Bramanti.”

Bramanti berpaling. Dilihatnya dibalik tanggu, seorang gadis menjengukkan kepalanya. Dan sekali lagi ia terkejut. Gadis itu adalah Ratri.

Dengan serta merta Bramanti meloncat berdiri sambil bertanya, “He, kau dari mana Ratri.”

Ratri tidak segera menjawab. Tetapi justru kepalanya yang tersembul itu menghilang di balik tanggul.

Bramanti tertegun sejenak. Namun kemudian ia meloncat naik tebing. Tetapi langkahnya segera terhenti. Ia hanya memakai celananya saja. Karena itu mmaka dengan tergesa-gesa ia kembali menyambar kain panjangnya yang masih belum kering benar. Dengan tangkasnya ia meloncat dari batu ke batu, kemudian menariki tebing seperti seekor tupai pada dahan pepohonan.

Bramanti terhenti ketika ia melihat Ratri yang ternyata duduk di balik tanggul sambil memegangi bakul cuciannya.

“Apakah kau dari bendungan?” bertanya Bramanti.

Ratri berpaling. Kemudian sambil mengangguk ia menjawab pendek. “Ya.”

“Kau sudah tidak takut lagi keluar dari padukuhan?”

Ratri tidak segera menjawab. Dipandainginya sinar matahari yang hinggap di atas dedaunan.

“Apakah kau percaya bahwa orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi?”

Perlahan-lahan Ratri mengangguk. Jawabnya, “Kalau mereka ingin melakukannya, maka pasti sudah mereka lakukan.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku kira mereka benar-benar tidak akan mengganggumu lagi,” Bramanti berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah kau pergi ke bendungan seorang diri?”

Ratri menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku pergi bersama beberapa orang kawan.”

“Kenapa kau sekarang sendiri?”

“Kawan-kawanku telah lebih dahulu pulang.”

“Dan kau?”

“Cucianku jatuh beberapa lembar. Aku ingin singgah sebentar untuk membersihkannya. Tetapi tiba-tiba saja aku melihatmu berjemur di pinggir sungai ini.”

Bramanti tidak segera menyahut. Dicobanya menyelusuri jalan di sebelah tanggul itu dengan pandangan matanya. Tetapi ia sudah tidak melihat sesuatu di jalan itu sampai jalan itu masuk ke dalam rimbunnya dedaunan di tikungan di ujung desa.

“Mereka sudah lama mendahului aku. Aku pun sudah cukup lama berada di atas tanggul ini. Tetapi kau sama sekali tidak berpaling.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata olehnya kini, betapa asyiknya ia berangan-angan.

“Kalau begitu,” berkata Bramanti kemudian. “Bukankah kau akan membersihkan cuciamu yang terjatuh itu?”

“Ya”

“Silakan.”

“Apakah kau akan pergi?”

Bramanti ragu-ragu sejenak. Sekilas terbayang wajah Temunggul yang merah apabila ia melihatnya berada di tempat itu bersama Ratri, meskipun hanya sekadar suatu kebetulan.

Namun dadanya menjadi berdebar-debar ketika Ratri berkata, “Apakah kau tidak berkeberatan untuk mengawani aku?”

Bramanti menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada menganggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Cepatlah sedikit.”

“Apa kau tergesa-gesa?”

Bramanti terpaksa menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak tergesa-gesa.”

“Terima kasih,” sahut Ratri. “Kawani aku di bawah.”

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Ketika Ratri kemudian menuruni tebing, ia pun terpaksa turun pula, betapapun bayangan-bayangan yang tidak menyenangkan hilir mudik di kepalanya. Yang paling mencemaskannya adalah apabila Temunggul melihatnya, setidak-tidaknya kawan-kawannya yang akan menyampaikannya kepadanya.

Tetapi Bramanti terpaksa melakukan permintaan Ratri itu. Dengan gelisahnya ia berjalan hilir mudik ditepian, sedang Ratri turun ke dalam air untuk membersihkan diri beberapa cuciannya yang terjatuh.

“Bagaimana pun juga, aku masih takut untuk tinggal disini seorang diri,” berkata Ratri kemudian. “Kalau terjadi sesuatu, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Bramanti mengerutkan keningnya. Katanya, “Kalau aku yang mengetahuinya, aku kira tidak akan banyak bedanya dengan apabila kau seorang diri.”

“Tetapi kau masih akan lebih baik dari pada kawan-kawan gadisku apabila terjadi sesuatu, apalagi yang berbahaya bagi keselamatanku.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kakinya masih saja melangkah di atas pasir tepian, hilir mudik sambil menundukkan kepalanya.

“Bramanti,” terdengar suara Ratri lembut, sehingga Bramanti justru terkejut, dan langkahnya pun terhenti.

“Apakah kau sudah mendengar berita terakhir dari Panggiring,” gadis itu bertanya.

Terasa sesuatu berdesir di dada Bramanti mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menyangka bahwa perhatian Ratri terhadap Panggiring sedemikian besarnya, sehingga beberapa kali ia menanyakannya. Karena itu maka sejenak ia berdiri seolah-olah membeku di tempatnya.

Ratri berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Bramanti yang tegang dengan sinar matanya yang lembut, sehingga Bramanti pun kemudian menundukkan kepalanya.

“Tidak Ratri. Aku tidak mendengar ceritera apapun tentang anak itu.”

“Apakah Ki Tambi tidak mengatakan sesuatu kepadamu tentang lencana itu?”

“Darimana kau tahu?” dahi Bramanti menjadi berkerut-merut.

“Ayah mengatakannya. Ia mendengar dari Ki Tambi, bahwa Panggiring mempunyai ciri lencana itu.”

“Begitulah menurut Ki Tambi. Tetapi itu sama sekali bukan berita baru tentang Panggiring.”

“Tetapi apakah Panggiring tidak berniat untuk pulang?”

Dada Bramanti menjadi semakin sesak. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. “Aku tidak tahu Ratri.”

“Aku kira ia akan pulang seperti kau Bramanti. Panggiring adalah anak Candi Sari. Sejauh-jauh ia pergi, suatu saat ia pasti merindukan tanah kelahiran. Dan kau akan mendapat kegairahan baru di dalam rumahmu, karena kau tidak tinggal seorang diri. Apalagi agaknya kau masih belum dapat menyesuaikan diri dengan anak-anak muda di Kademangan ini.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang meluap. Dengan suara yang serak ia menjawab. “Bukan karena aku tidak berusaha untuk menyesuaikan diri Ratri. Tetapi anak-anak muda di Kademangan ini sudah dibebani oleh suatu prasangka, bahwa aku akan membalas dendam atas kematian ayahku.”

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi bukankah kau sudah menjelaskan, bahwa kau sama sekali tidak berniat untuk berbuat demikian?”

“Berulang kali. Berulang kali.”

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, “Lambat laun mereka akan melihat kenyataan, bahwa kau memang tidak akan melepaskan dendam,” gadis itu berhenti sejenak, lalu “Agaknya Panggiring pun kelak akan memerlukan waktu untuk menyesuaikan dirinya dengan pergaulan anak-anak muda di Kademangan ini. Aku dengar ia sudah agak jauh tersesat. Tetapi aku percaya bahwa suatu ketika ia akan sembuh. Ia adalah orang yang baik. Sejak kanak-kanak ia adalah seorang yang baik,” sekali lagi kata-kata Ratri terhenti. Bahkan kemudian tangannya yang sedang bekerja pun terhenti pula. Di angkatnya dadanya seolah-olah mengedepankan debar jantungnya. Namun pandangan matanya mengambang kekejauhan. Terdengar ia berdesis, “Berbeda dengan anak-anak yang lain, Panggiring yang sudah agak lebih besar dari kau Bramanti tidak pernah nakal terhadap anak-anak perempuan yang lebih kecil daripadanya. Ia sudah hampir remaja ketika ia meninggalkan Kademangan ini. Bukankah begitu?”

Tiba-tiba sesuatu menyentak di dada Bramanti. Dan tanpa sesadarnya ia memotong, “Tetapi kini ia adalah seorang penjahat.”

Ratri terdiam sejenak. Di wajahnya membayang keheranannya mendengar kata-kata Bramanti. Bahkan kemudian ia seolah-olah mencari-cari di wajah anak muda itu, perasaan apakah yang telah mendorongnya mengatakan demikian.

Bramanti sadar atas keterlanjurannya. Karena itu maka nada suaranya menurun. “Aku sangat kecewa terhadap kakang Panggiring, kenapa ia telah tersesat jalan.”

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, semua orang memang menyesalkannya. Kau menyesal apalagi ibumu. Dan kawan-kawan yang lain pun menyesal pula.”

Bramanti menarik nafas. Tetapi ia tidak menyahut.

“Tetapi aku masih mengharap ia akan menyadari kesalahannya itu dan memilih jalan kembali. Ia akan menemukan dirinya dan menjadi seorang yang baik.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tersendat-sendat ia menyahut, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan.”

Namun tanpa disadarinya tumbuhlah pergolakan di dalam dirinya. Bramanti tidak dapat mengerti, kenapa ia tidak senang mendengar Ratri memuji kakaknya di masa kanak-kanaknya.

Tetapi Bramanti berusaha sekuat tenaganya untuk menyembunyikan perasaan itu. Kepalanya yang terangguk-angguk masih juga terangguk-angguk meskipun ia sama sekali tidak ingin menyatakan perasaan apapun dengan anggukan kepalanya itu.

Ketika Ratri kemudian meneruskan kerjanya, mencelup cuciannya yang kotor itu lagi, maka Bramanti pun mulai berjalan hilir mudik di pesisir tepian. Namun sejenak kemudian maka diletakkannya dirinya duduk di atas sebuah batu yang besar di pinggir sungai. Kakinya yang kotor oleh pasir, tercelup di dalam air yang bening.

Satu dua ikan wader berenang di bawah batu yang didudukinya. Kemudian hilang dibalik gumpalan padas yang kehijau-hijauan ditumbuhi ganggang.

Terbayang dirinya yang bergetar di permukaan air yang bergerak. Sama sekali tidak dapat dikenalinya bentuk dan garis-garis wajahnya, seperti ketika ia bercermin di belumbang pada air yang tenang.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

Ia mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara Ratri lembut, “Bramanti.”

Bramanti berpaling. Suara itu telah beberapa kali di kenalnya. Dan panggilan itu pun telah sering, amat sering menyentuh telinganya.

“Aku sudah selesai,” berkata Ratri. Bakul cuciannya telah dijinjing di lambungnya. “Marilah, kita pulang.”

Bramanti pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Ratri. Jawabnya, “Marilah. Apakah kau dapat naik sambil membawa bakul cucian itu.”

Ratri termenung sejenak. Sambil menggeleng ia berkata, “Mungkin tidak Bramanti. Apakah kau akan membawakan bakul ini sampai ke tanggul di atas?”

“Baiklah,” sahut Bramanti.

“Terima kasih.”

Maka keduanya pun kemudian menaiki tebing sungai yang tidak terlampau tinggi. Ratri berada di depan, merangkak perlahan-lahan berpegangan pada rerumputan dan batu-batu padas di tebing. Sedang Bramanti berjalan perlahan-lahan mengikutinya sambil menjinjing sebuah bakul cucian.

Namun tiba-tiba seperti dipatuk oleh seekor ular Bramanti terkejut bukan kepalang. Ketika ia mendengar desir di atas tanggul, dan kemudian ditengadahkan wajahnya, ia melihat seseorang bertolak pinggang. Wajahnya merah membara seperti warna senja di langit.

Langkah Bramanti pun tertegun karenanya. Sejenak ia memandang wajah itu, namun sejenak kemudian dilemparkannya tatapan matanya jauh-jauh.

Ratri pun terkejut pula ketika ia melihat anak muda itu. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi acuh tak acuh. Ia merangkak terus naik ke tanggul di atas tebing.

Tetapi ia tertegun ketika ia melihat Bramanti terhenti. Tanpa menghiraukan anak muda yang berada di atas tanggul ia berkata kepada Bramanti, “Apakah kau lelah? Kenapa kau berhenti?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ratri sama sekali tidak menyadari keadaannya. Karena itulah maka ia menjadi bingung dan ragu-ragu.

“Ayolah Bramanti,” ajak Ratri.

Bramanti pun belum beranjak dari tempatnya. Namun sejenak kemudian dipaksanya kakinya melangkah, dan ia pun naik semakin tinggi pada tebing yang tidak begitu dalam.

“Bramanti,” terdengar suara anak muda itu menggeram.

Langkah Bramanti terhenti. Tetapi ia tidak berusaha menatap wajah yang sedang membara itu.

“Bramanti,” sekali lagi terdengar suara yang berat itu.

Bramanti masih tetap berdiri di tempatnya.

“Kau sudah melanggar janjimu sendiri,” berkata anak muda itu dengan geramnya.

Bramanti tidak menyahut. Namun Ratri ang mendengarnya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Janji yang manakah yang telah dilanggarnya Temunggul?”

Anak muda itu mengerutkan dahinya. Di pandanginya wajah Ratri yang menjadi tegang pula.

“Pulanglah Ratri.”

“Kenapa kau suruh aku pulang?”

“Serahkan bakul itu, dan biarkan Ratri pulang dahulu. Kau tinggal disini bersama aku,” berkata Temunggul kepada Bramanti.

“Kenapa?” bertanya Ratri.

“Itu adalah persoalanku dengan Bramanti Ratri.”

Ratri menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia masih tetap berada di tempat itu.

“Pulanglah Ratri.”

“Aku tidak berani pulang sendiri. Selesaikan persoalanmu, aku akan menunggu. Biarlah Bramanti nanti mengantarkanku sampai ke padukuhan.”

“Tidak. Aku tidak mengijinkannya.”

Ratri terkejut mendengar jawaban itu. Dengan serta merta, tanpa disadarinya ia bertanya, “Apakah hakmu melarang Bramanti mengantar aku?”

“Aku adalah pimpinan pengawal Kademangan,” jawab Temunggul.

“Tetapi Bramanti bukan anggota pengawal. Dan apakah salahnya kalau ia berbaik hati mengantar aku, karena aku sudah ditinggalkan oleh kawan-kawanku.”

“Kenapa kau tidak pulang bersama mereka?”

“Aku masih mempunyai beberapa pekerjaan. Cucianku terjatuh, dan aku harus mencelupkannya lagi.”

“Kenapa harus bersama Bramanti.”

“Itu hanyalah suatu kebetulan Temunggul. Aku datang kemari, dan Bramanti telah ada di tempat ini sebelum aku datang. Ia pun agaknya sedang mencuci pakaiannya.”

Temunggul terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar ia berdesis, “Bohong. Kau bohong Ratri.”

“Kenapa aku harus berbohong?”

“Kalian berdua sengaja datang ke tempat ini.”

“Seandainya demikian, apakah salahnya?”

Wajah Temunggul yang telah membara itu menjadi kian merah. Sejenak ia terpaku diam. Namun terdengar giginya gemeretak.

Bramanti masih berdiri sama seperti patung. Namun kecemasan yang sangat telah menjalari jantungnya. Apa yang ditakutkannya ternyata benar-benar terjadi. Bahkan Temunggul sendirilah yang telah melihatnya berada di tempat itu berdua saja bersama Ratri.

Sejenak kemudian terdengar suara Temunggul bergetar, “Kau tidak perlu mengetahui terlampau banyak Ratri. Pulanglah.”

“Aku akan menunggu Bramanti disini,” jawab Ratri. Dan jawaban itulah yang telah membuat hati Temunggul menjadi semakin panas.

Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Pergi kau Bramanti, pergi. Bawa bakulmu. Dan kau Bramanti, kau tetap tinggal disini.”

Ratri adalah seorang gadis yang tidak terlampau banyak tingkah. Ia adalah seorang gadis yang patuh di rumah. Penurut dan jarang sekali menentang pendapat orang tuanya. Tetapi, sikap kasar Temunggul itu justru telah menyinggung perasaannya, sehingga dengan demikian maka ia pun berusaha untuk mempertahankan harga dirinya. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku akan tetap disini, Temunggul. Tidak seorang pun yang berhak memerintahkan aku selain kedua orang tuaku. Kau juga tidak.”

Dada Temunggul serasa telah mendidih sampai ke kepalanya. Tetapi ia masih sadar, bahwa yang dihadapinya kali ini adalah Ratri. Ratri. Dan karena itulah maka ia menjadi gemetar menahan luapan perasannya.

Tetapi ia tidak segera menjawab ketika Ratri yang sedang tersinggung itu mendesaknya. “Coba katakan, apakah sebabnya maka aku harus pergi dan Bramanti harus tinggal? Kenapa?”

Temunggul yang berdiri gemetar itu tidak menyahut.

“Kenapa Temunggul?” desak Ratri.

Bramanti yang berdiri termangu-mangu sambil menjinjing bakul itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dan tiba-tiba saja, sama sekali di luar dugaan Temunggul, Bramanti menjawab, “Temunggul telah pernah minta janjiku Ratri, bahwa aku tidak akan lagi terlampau dekat dengan kau.”

“He,” kini wajah Ratri pun menjadi merah padam. Namun justru mulutnyalah yang terkunci.

Bramanti terkejut sendiri mendengar kata-katanya. Bahkan sejenak ia terpaku kebingungan di tempatnya. Sekilas teringat olehnya pernyataan-pernyataan Ratri tentang Panggiring. Dan ia merasa tidak senang mendengarnya.

Dan kini ia sadar, Temunggul akan merasakan ketidaksenangan yang demikian jauh lebih parah lagi daripadanya, justru karena Temunggul merasa anak muda yang paling terkemuka di Kademangannya.

Ternyata pula kemudian, akibat dari kata-katanya itu, wajah Temunggul menjadi seakan-akan terbakar. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Bramanti akan mengatakannya justru di hadapan Ratri sendiri.

Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Temunggul. Dipandanginya wajah Bramanti dengan tajamnya, kemudian ditatapnya pula wajah Ratri yang tegang.

Terdengar anak muda itu kemudian menggeram, “Bramanti berkata sebenarnya Ratri. Aku memang pernah berkata demikian kepadanya. Kenapa orang yang tidak aku kenal tabiat dan kebiasaannya. Kalau ia tidak lebih baik dari ayahnya, maka ia adalah seorang laki-laki yang berbahaya bagi gadis-gadis. Itulah sebabnya aku pernah mengatakan, supaya ia tidak menerkam gadis-gadis yang lengah seperti kau saat ini.”

“Temunggul,” terdengar suara Bramanti tertahan, selama ini ia telah menahan dirinya, dan berusaha untuk menghindari setiap persoalan yang dapat timbul dengan anak-anak muda Candi Sari. Tetapi ketika Temunggul menyinggung nama ayahnya, maka terasa dadanya bergetar. Meskipun demikian ia masih berusaha menahan dirinya. Katanya selanjutnya, “Mungkin ayahku bukan seorang yang baik. Tetapi itu sudah terlampau. Dan ayahku tidak lebih dari seorang penjudi. Bukan seorang yang berhenti serigala seperti yang kau katakan. Mungkin ayahku sering menipu dan berbuat curang dilingkaran judi, apalagi ketika kami telah jatuh miskin. Tetapi hanya itu. Dan aku sudah mengatakan, bahwa aku akan berbuat lain justru untuk membersihkan nama keluargaku.”

“Bohong,” bentak Temunggul. “Seperti yang kau lakukan sekarang? Aku telah mengatakan supaya kau tidak membuat onar di Kademangan ini. Kau pun telah berjanji untuk tidak mengganggu gadis-gadis termasuk Ratri. Tetapi kau justru mencari kesempatan dan mencoba membujuknya.”

Ratri yang mendengarkan percakapan itu seolah-olah membeku di tempatnya. Tetapi sebagai seorang gadis, ia dapat merasakan perasaan Temunggul terhadapnya. Karena itu maka ia segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa Temunggul menjadi cemburu.

Tetapi apaboleh buat. Hatinya sama sekali tidak mau disangkutkannya kepada anak-anak muda itu. Betapa Temunggul dikagumi setiap anak-anak muda dan terutama gadis-gadis. Ia memang menganggap bahwa Temunggul adalah seorang yang luar biasa. Hanya itu. Tetapi bukan seorang yang berhasil mencengkam hatinya.

Apalagi kalau dikenangnya, bahwa Temunggul memang pernah menyatakan kata hatinya itu kepadanya. Sehingga dengan demikian Ratri hampir pasti bahwa agaknya Temunggul tidak mau melihat ia bergaul dengan siapapun selain dengan dirinya sendiri.

Betapa terasa sakit hati Ratri.

Sebagai seorang gadis maka saluran yang paling dekat untuk menyatakan perasaannya adalah titik-titik air mata.

Demikian pepat hati Ratri menghadapi masalahnya, sehingga ia tidak dapat menahan lagi air matanya yang mengalir. Meleleh di pipinya, dan satu-satu jatuh di atas pasir dibawah kakinya.

Melihat Ratri menangis, Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Sudahlah Ratri. Pulanglah. Jangan hiraukan kami. Aku akan berbicara dengan Bramanti.”

“Kau menghina aku Temunggul,” desis Ratri.

“Maafkan aku Ratri. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Karena itu, pulanglah. Persoalan ini adalah persoalanku dengan Bramanti.”

“Tetapi aku adalah orang yang sedang kalian persoalkan,” potong Ratri, yang kemudian disambungnya. “Temunggul. Kalau di dengar orang lain, bahwa kalian berselisih karena aku, maka alangkah malunya. Aku akan kehilangan harga diriku. Semua orang akan mencemohkan aku, seolah-olah aku telah merendahkan diriku, dan membuat kalian berebut seperti buah durian yang runtuh.”

Kedua anak-anak muda itu terdiam. Mereka merasakan sentuhan kata-kata Ratri. Sebagai seorang gadis, maka ia tidak akan dapat melepaskan dan melupakan persoalan itu dengan mudah. Setiap tatapan mata orang-orang yang berjalan berpapasan akan terasa seolah-olah mata itu memandangnya dengan tajam. Seolah-olah ingin melihat manakah gadis yang telah menjadi sumber persoalan antara anak-anak muda di Kademangan Candi Sari.

Sedang apabila seseorang tidak melihatnya apabila mereka berpapasan di tempat ramai, maka ia merasa bahwa orang itu telah memalingkan wajahnya sambil mencibirkan bibirnya.

Bramanti yang masih memegang bakul cucian Ratri kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata perlahan-lahan, “Ratri. Inilah bakul cucianmu. Memang sebaiknya kau pulang. Aku pun akan pergi tanpa mempersoalkan apa-apa lagi. Perjumpaan yang kebetulan ini agaknya tidak menyenangkan hatimu.”

Ratri yang masih menangis menerima bakul itu. Kemudian ia berkata terputus-putus, “Terserahlah kepada kalian, apakah kalian akan menista namaku atau tidak.”

Bramanti tidak menjawab. Tetapi ia pun segera melangkah pergi meninggalkan Ratri yang masih sibuk membersihkan air matanya. Sedang Temunggul berdiri mematung di tempatnya. Namun ketika ia melihat Ratri menerima bakulnya dari Bramanti terasa dadanya bergetar.

Tetapi Bramanti sama sekali sudah tidak berpaling lagi. Dilangkahinya parit yang membujur di sebelah tanggul, kemudian dengan tergesa-gesa ia berjalan menyelusur pematang kembali ke desanya.

Temunggul yang ditinggalkan oleh Bramanti menjadi berdebar-debar. Beberapa langkah ia maju mendekati Ratri sambil berkata, “Maafkan aku Ratri. Sekarang, marilah kita pulang. Aku menyangka bahwa kau telah bergaul terlampau rapat dengan Bramanti. Aku memang tidak senang melihat hal itu, karena aku pernah mendengar cerita tentang ayah Bramanti. Sifat-sifat itulah yang agaknya memberinya peringatan. Percayalah, bahwa aku bermaksud baik.”

Ratri menganggukkan kepalanya, “Ya, aku berterima kasih bahwa kau memperhatikan hal itu. Biarlah aku sekarang pulang sendiri.”

“Kita bersama-sama Ratri.”

“Aku akan pulang sendiri.”

“Apakah kau tidak takut?”

“Aku tinggal berjalan beberapa langkah. Seandainya terjadi sesuatu, maka suara teriakanku akan didengar oleh orang-orang di desa, dan mungkin digubug-gubug di sawah itu.”

“Marilah kita pulang bersama-sama. Apakah keberatanmu?”

“Terima kasih Temunggul. Sebaiknya aku pulang sendiri.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya telah mulai dirayapi oleh kecurigaannya atas sikap Ratri itu. Sehingga tiba-tiba saja ia merasa mendapat kesempatan untuk bertanya kepadanya, apakah Ratri dapat mengerti perasaannya itu.

Betapa beratnya, namun Temunggul itu berkata, “Ratri, aku minta ijinmu, sebaiknya kita pulang bersama-sama. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu Ratri, supaya selanjutnya hatiku menjadi tentram. Supaya apabila aku melihat hal-hal serupa ini, dadaku tidak segera terbakar.”

Ratri segera mengerti maksud Temunggul. Karena itu maka ia menjawab, “Jangan kau tanyakan lagi hal itu Temunggul. Apabila dalam keadaan seperti ini. Sudahlah, aku akan pulang sendiri.”

“Ratri,” berkata Temunggul. “Sudah terlampau lama aku menahan hati. Kau harus tahu Ratri, bahwa aku tidak pernah dapat tidur nyenyak. Karena itu, aku minta kau rela memberikan jawabanmu atas perasaanku terhadapmu.”

“Aku akan pulang Temunggul,” potong Ratri sambil melangkah pergi.

“Ratri,” panggil Temunggul yang mengikutinya. “Jawablah.”

Ratri tidak segera menjawab. Tetapi ia berjalan semakin cepat.

Temunggul yang berjalan dibelakangnya mendesaknya. “Jawablah, Ratri. Satu patah kata telah cukup bagiku.”

Tetapi Ratri tidak menyahut. Ia berjalan semakin cepat menyusur tanggul sungai.

Temunggul yang berjalan dibelakangnya pun menjadi semakin cepat pula. Nafsunya untuk mendengar jawaban Ratri pun menjadi semakin melonjak di dalam dadanya. Karena itu maka ia selalu mendesaknya. “Ratri, jawablah Ratri. Kalau kau sudah menjawab, maka tidak akan timbul persoalan lagi padaku. Meskipun seandainya aku melihat kau bersama siapapun, hatiku tidak akan lagi cemas, karena aku telah mempunyai pegangan. Itu akan berarti bahwa aku tidak bermaksud melarang kau bergaul dengan siapapun. Namun aku memerlukan jawaban itu.”

Pertanyaan-pertanyaan Temunggul itu serasa memburu perasaannya, sehingga Ratri pun semakin mempercepat langkahnya. Bahkan kemudian ia berlari-lari kecil disepanjang tanggul.

Di kejauhan seseorang yang sedang berada di sawah melihat keduanya seakan-akan sedang berkejaran. Tetapi orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian. Hampir setiap orang mengenal Temunggul, dan hampir setiap orang, apalagi anak-anak mudanya menganggap pergaulan Temunggul dan Ratri telah menjadi semakin erat. Apalagi ayah Ratri sendiri sering mempercakapkan Temunggul dan memujinya sebagai seorang pahlawan yang tidak ada duanya di Kademangan Candi Sari.

Karena itu, orang itu pun tidak mengacuhkannya lagi. Diteruskannya kerjanya, mencangkul sawahnya.

Ratri yang merasa selalu dikejar oleh pertanyaan yang tidak dapat segera dijawabnya berlari semakin kencang, dan Temunggul pun berlari semakin kencang pula.Namun sudah tentu Ratri tidak akan dapat menjauhi anak muda itu, karena ia tidak dapat berlari sekencang Temunggul. Dengan demikian maka ketakutan dan kecemasan semakin membayanginya. Sehingga ia masih berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk berlari semakin cepat.

Tetapi sayang, ia adalah seorang gadis. Kain panjangnya yang agak basah ternyata sangat mengganggunya. Maka ketika ia meloncati sebuah lekuk yang menembus tanggul itu, ia tergelincir.

Terdengar sebuah jerit yang nyaring memecah udara yang jernih. Suara itu bergema memenuhi jalur sungai dibawahnya. Namun suara itu pun kemudian lenyap ketika Ratri terguling di tebing yang meskipun tidak begitu dalam, tetapi terjal dan keras.

Temunggul terkejut bukan kepalang. Sejenak ia berdiri mematung. Namun sejenak kemudian dengan tangkasnya ia meloncat turun mengejar Ratri yang terguling itu.

Beberapa orang yang sedang berada di sawah ternyata mendengar jerit itu pula. Sejenak mereka mencoba menyakinkan pendengarannya. Namun sejenak kemudian mereka segera berloncatan berlari menuju ke sumber bunyi itu.

Mereka yang segera sampai ke tanggul sungai itu melihat Temunggul sedang menolong Ratri yang lemas. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya menjadi pucat seperti kapas. Beberapa bagian dari tubuhnya menjadi luka-luka sehingga darahnya pun memerahi pakaiannya.

“Kenapa anak ini Temunggul?” bertanya salah seorang dari antara mereka.

“Ia tergelincir dan terguling,” jawab Temunggul terbata-bata. Namun hatinya menjadi berdebar-debar apabila Ratri menyanggahnya.

Namun ia menarik nafas ketika ia mendengar suara Ratri lemah, “Aku tergelincir paman.”

Orang-orang yang ada di sekitarnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang yang melihatnya berlari-lari di tanggul mengerutkan keningnya sambil berdesis diri sendiri, “Anak-anak muda tidak pernah berhati-hati. Itulah salahnya, berkejaran di atas tanggul.”

Beberapa orang pun kemudian membantu mengangkat Ratri. Tetapi Ratri menolaknya. Katanya, “Aku akan berjalan sendiri.”

“Kau sakit Ratri. Biarlah kami dukung kau pulang.”

“Tidak paman. Orang-orang di desa akan terkejut melihatnya. Aku tidak apa-apa.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak.

“Kalau begitu beristirahatlah dahulu.”

Ratri pun kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya. Dicobanya untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah. Diusapnya darah yang masih merentul dari lubang-lubangnya.

“Cucianku,” Ratri berdesis.

“Kenapa dengan cucianmu?”

Ratri tidak menjawab. Tetapi dipandanginya seonggok cucian yang kini justru penuh dengan pasir dan lumpur.

“O,” desis seorang yang kemudian memungut cucian itu.

“Biarlah aku celup lagi cucianmu.”

“Jangan paman, jangan,” Ratri mencegahnya.

“Kenapa?”

“Jangan.”

“Ya. Kenapa?”

“Cucian itu. Jangan. Biarlah aku saja yang mencucinya kembali. Biarlah cucian itu berada disitu. Cucian itu adalah cucianku. Tidak pantas paman mencucinya.”

Orang itu menarik nafas. Tetapi ia tidak memaksanya. Dibiarkannya saja cucian itu teronggok ditempatnya.

Setelah beristirahat sejenak, serta memampatkan darah dari luka-lukanya, Ratri mencoba untuk berdiri. Selangkah ia maju dibantu oleh dua orang yang berada sebelah menyebelah.

“Terima kasih. Aku akan berjalan sendiri. Aku akan mencucinya di rumah saja.”

“Baiklah. Sekarang marilah aku antar kalian pulang.

Ratri mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Temunggul yang menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Karena itu, maka Ratri pun tidak mengatakan sepatah kata pun tentang Temunggul.

Sejenak kemudian, maka Ratri pun di antar pulang oleh beberapa orang bersama Temunggul yang membawa bakul cucian Ratri.

Kedatangan Ratri telah mengejutkan beberapa orang yang melihatnya, apalagi orang tuanya. Namun mereka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil mengangkat bahunya, setelah beberapa orang mengatakan apa yang telah terjadi sepengetahuan mereka.

Setelah peristiwa itu, kebencian Temunggul kepada Bramanti semakin menjadi-jadi. Ia tidak sekadar benci karena Bramanti adalah anak seorang penjudi besar yang terbunuh dalam suatu lingkaran perjudian karena telah mencoba berbuat curang dan menipu lawan-lawannya, sehingga perselisihan tidak dapat dihindarkan lagi. Tetapi kebenciannya itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan cemburunya.

“Aku akan mencari alasan untuk menangkapnya,” katanya di dalam hati. “Ia harus diberi sedikit pelajaran agar ia benar-benar menjadi jera.”

Dalam pada itu, Bramanti sendiri sangat dipengaruhi oleh peristiwa itu. Apalagi apabila terngiang di telinganya, pertanyaan-pertanyaan Ratri tentang kakaknya Panggiring.

“Gadis itu mengaguminya,” katanya di dalam hati.

Sambil menghentakkan tangannya ia bergumam, “Ia melihat aku sebagai seorang pengecut. Seorang yang tidak dapat disebut jantan. Itulah sebabnya ia menganggapku sebagai kawannya bermain.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia dihadapkan pada suatu keadaan yang membuat hatinya terlampau sakit. Perhatiannya kepada Ratri yang tumbuh perlahan-lahan justru karena berita tentang Panggiring yang telah sampai ke Kademangan itu.

Apalagi Temunggul telah terlanjur menuduhnya, dan bahkan diancam dengan segala macam cara, agar ia menjauhi Ratri.

Bramanti menggigit bibirnya. Ia berdiri dalam kebimbangan.

“Tidak,” tiba-tiba ia menggeram. “Aku tidak boleh menjadi korban yang sama sekali tidak berarti. Kalau Temunggul pada suatu saat kehilangan akal, maka aku tidak akan dapat bersikap seperti kerbau yang paling bodoh. Apalagi aku tidak mempunyai harapan apapun bagi diriku sendiri.”

Tetapi tiba-tiba wajah Bramanti itu tertunduk. Terngiang pesan gurunya, bahwa ia harus berlaku baik. “Kalau kau ingin berbakti kepada orang tuamu, Bramanti,” berkata gurunya, “Maka cucilah nama ayahmu. Kau harus menjadi orang yang berguna bagi Kademanganmu. Mungkin sementara waktu kau akan terlampau banyak berkorban. Terutama perasaan dan harga diri. Tetapi pada suatu ketika kau akan menjadi orang yang terpandang di Kademanganmu. Hindarkanlah setiap persoalan,” kemudian suara ibunya yang parau, “Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu?” Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terbelenggu oleh pesan gurunya dan pendirian ibunya. Ibunya lebih senang melihat Bramanti sebagai seorang yang jinak dan selalu berada di halaman rumahnya. Setiap kali ia menjadi ngeri, apabila teringat olehnya akan kematian suaminya, ayah Bramanti. Justru karena ayah Bramanti memiliki ilmu kanuragan, sehingga ia tidak pernah menghindari pertengkaran.

Sebagai seorang anak yang patuh kepada gurunya dan kepada orang tuanya, maka Bramanti masih mencoba menahan hati. Supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri, maka ia lebih baik selalu berada di rumahnya. Di bawah pohon sawo, menganyam wuwu atau berbaring di kandang apabila ia tidak mempunyai pekerjaan yang lain.

Namun akhirnya ia menjadi jemu juga untuk selalu berada di dalam lingkungan halaman. Kawannya yang sering datang mengunjunginya adalah Panjang dan kadang-kadang Ki Tambi. Namun apabila keduanya kemudian pergi, maka Bramanti kembali merasa tercencang oleh kesepian.

Satu-satunya kawannya adalah pedang pendek yang disembunyikannya di dalam kandang. Namun pedang itu kemudian harus disimpannya kembali apabila ia berada di kebun atau di halaman. Yang selalu ada di tangannya adalah sebilah parang pemotong kayu, atau cangkul atau bahkan sapu lidi.

Namun sampai juga saatnya, Bramanti tidak dapat bertahan lagi. Ia tidak dapat mencegah lagi keinginannya untuk keluar barang sekejap dari halaman rumahnya. Karena itu, maka ia minta ijin kepada ibunya untuk pergi ke sungai, mencuci pakaiannya yang kotor.

“Kenapa tidak kau cuci di rumah saja Bramanti? Bukankah sumur kita tidak kering?”

“Aku ingin melihat-lihat ibu. Sudah agak lama aku tidak keluar rumah. Aku ingin mandi sambil berjemur seperti ketika aku masih kanak-kanak.”

“Tetapi jangan terlampau lama Bramanti. Dan sebaiknya kau tidak usah pergi ke bendungan. Di sana selalu banyak orang yang akan dapat membuat persoalan.”

“Aku tidak pernah pergi ke bendungan. Lebih baik aku mencuci dan mandi disebelah pedesaan ini.”

“Baik. Dan hati-hatilah. Jangan membuat persoalan apapun dengan siapapun. Kau masih belum dapat diterima dengan baik oleh orang Kademangan ini.”

“Ya bu.”

Namun peringatan ibu nya itu memang membuat Bramanti menjadi ragu-ragu. Apakah tidak lebih baik ia tinggal di rumah, berbaring di kandang atau menganyam keranjang?”

“Sebentar saja,” desisnya.

Bramanti pun kemudian meninggalkan halaman rumahnya membawa sehelai kain panjang selain yang dipakainya untuk dicuci. Perlahan-lahan ia melangkah, menyusur jalan sempit yang akan sampai ke sudut desa. Kemudian dilangkahinya parit kecil yang membujur sepanjang jalan. Lalu langkahnya terayun di atas pematang yang akan sampai ke tanggul sungai.

Sekali-kali Bramanti menarik nafas. Sinar matahari pagi yang menjamah punggungnya yang telanjang terasa semakin hangat. Burung bangau yang berdiri dengan sebelah kakinya di sepanjang pematang, menghambur berterbangan. Namun kemudian satu persatu mereka hinggap lagi di atas pematang menunggu mangsanya yang meloncat dari rerumputan.

Bramanti menebarkan pandangan matanya, menyapu batang-batang padi yang sedang menghijau. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah. “Hasil panen ini, setiap kali selalu diambil oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Apabila beberapa orang petani berhasil menabung dan membeli barang-barang berharga, maka mereka akan menjadi sasaran yang menyenangkan.”

Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, “Apakah hal ini akan berlangsung terus, dan anak-anak muda di Kademangan ini masih tetap tidur? Aku harap Ki Tambi akan berhasil.”

Bramanti tertegun ketika ia mendengar derap seekor kuda. Ketika ia berpaling dilihatnya Panjang berada di atas punggung kudanya berlari menyusur jalan yang baru saja ditinggalkannya, melintas parit.

Bramanti melihat Panjang melambaikan tangannya, dan Bramanti pun mengangkat tangannya pula. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ada sesuatu yang penting telah terjadi? Panjang tidak terlampau biasa naik kuda di Kademangan sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba ia ingin bertemu dengan anak muda itu.

Tetapi Panjang tidak berhenti. Ia berjalan terus meskipun ia masih juga melambai-lambaikan tangannya.

Ketika Panjang menjadi semakin jauh, Bramanti pun meneruskan langkahnya, menyusur pematang pergi kesungai untuk mencuci pakaiannya.

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan langkahnya, menyusur pematang pergi ke sungai untuk mencuci pakaiannya.

Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan kakinya di atas pasir yang hangat, terasa seolah-olah ia menjadi kanak-kanak kembali. Di gusur-gusurnya onggokan pasir tepian dengan kakinya, kemudian dengan sebuah terikan nafas yang dalam ia menjatuhkan dirinya duduk menjelujur di atas pasir itu.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke air yang jernih yang mengalir di antara batu-batuan yang berserakan.

Bramanti pun kemudian membuka kainnya, sehingga ia tinggal memakai celana dalamnya yang panjang sampai ke lutut. Kemudian kain yang baru saja dipakainya itu pun dicelupkannya ke dalam air, dan kemudian dicucinya dengan lerak. Sedang kainnya yang lain diletakkannya di atas pasir yang kering.

Sejenak Bramanti berendam di dalam air beserta sisa pakaiannya. Sambil mencuci kain panjangnya ia mandi. Alangkah segarnya. Seolah-olah semua perasaan lelah dan letih hilang hanyut bersama arus sungai yang bening itu.

Namun tiba-tiba saja Bramanti itu terperanjat. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya dua orang berdiri di atas tanggul sambil bertolak pinggang. Salah seorang dari mereka adalah Temunggul.

Sejenak Bramanti menahan nafasnya. Ia tidak menyangka bahwa Temunggul akan mendapatkannya.

Sekilas terbayang apa yang telah terjadi ditepi sungai ini untuk beberapa hari yang lampau. Ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Ratri, dan kemudian dengan Temunggul.

Selain Temunggul dan Ratri, ia adalah orang yang ketiga yang mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mendengar orang-orang mempercakapkan Ratri dan Temunggul yang seakan-akan sedang bergurau dan bekerjaan di atas tanggul sungai sehingga Ratri tergelincir, ia dapat menebak dengan tepat, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Dan kini tiba-tiba Temunggul itu telah berada di atas tanggul pula.

Tetapi Bramanti kemudian, pura-pura tidak memperhatikannya. Seakan-akan ia tidak mempunyai persoalan sama sekali dengan Temunggul dan kawannya yang seorang itu. Dengan demikian, maka Bramanti pun melanjutkan kerjanya membersihkan dirinya sambil mencuci kain panjangnya.

Temunggul melihat sikap Bramanti dengan wajah yang tegang. Dan tiba-tiba sja ia berkata lantang, “Apa kerjamu disini Bramanti?”

Bramanti berpaling. Jawabnya kemudian, “Aku sedang mandi dan mencuci pakaian seperti apa yang sedang kau lihat Temunggul.”

Temunggul memandangnya dengan penuh kebencian. Kemudian bibirnya bergerak membuat sebuah senyuman yang kecut.

“Aku tahu apa yang sebenarnya kau lakukan,” desisnya.

Bramanti mengerutkan keningnya. Seperti di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah yang aku lakukan selain mencuci pakaian?”

“Jangan berpura-pura,” sahut Temunggul.

“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”

Sekali lagi Temunggul tersenyum. Senyum yang kecut. “Jadi begitulah yang sering kau lakukan?”

Dalam kebingungan Bramanti mengangguk, “Ya. Beginilah.”

“Setiap kali tanpa aku ketahui?”

“Apakah untuk melakukannya aku harus memberitahukannya kepadamu?”

“Diam,” tiba-tiba Temunggul membentak. “Kau berpura-pura tidak mengerti maksudku. Tetapi jangan mencoba ingkar. Kau akan terjerat oleh janjimu sendiri. Jangan menyesal.”

Bramanti menjadi bingung. “Apalagi salahku sekarang?” pertanyaan itu telah melonjak di dalam dadanya. “Seakan-akan hampir setiap langkahku dianggap bersalah.” Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Temunggul itu.

Karena Bramanti tidak segera menjawab, maka Temunggul mendesaknya, “He, kenapa kau diam saja. Ayo katakan, bahwa kau telah melanggar janjimu. Dan pelanggaran itu akan berakibat jauh bagimu.”

Bramanti yang benar-benar tidak mengerti maksud Temunggul masih bertanya-tanya di dalam hati, dan bahkan akhirnya dilontarkannya pertanyaan itu, “Apakah salahku Temunggul? Apa salahku?”

“Kau masih berpura-pura saja Bramanti. Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran,” Temunggul menggeram. “Cepat naik kemari.”

“Aku belum selesai.”

“Cepat naik kemari,” Temunggul membentak semakin keras.

“Maaf. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini dahulu. Aku masih harus menjemur cucianku dan celanaku.”

“Jangan membantah lagi. Naik.”

Terasa dada Bramanti bergetar. Sudah terlampau lama ia mengorbankan harga dirinya. Sebagai seorang laki-laki, ia tidak akan dapat menerima perintah itu begitu saja. Tetapi setiap kali ia selalu dibayangi oleh wajah ibunya dan pesan-pesan gurunya.

Sejenak Bramanti dicengkam oleh kebingungan. Namun akhirnya ia menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan pakaian yang basah ia berjalan perlahan-lahan di atas pasir tepian.

“Ayo cepat, naik.”

Bramanti tidak membantah lagi. Meskipun ia tidak dapat melenyapkan singgungan-singgungan di dalam dadanya, tetapi ia melakukan perintah itu.

Dengan hati-hati ia naik. Dirambatinya tebing yang curam, meskipun tidak begitu tinggi. Kemudian dengan tubuh dan pakaiannya yang basah ia berdiri dihadapan Temunggul yang masih bertolak pinggang.

“Bramanti,” geram Temunggul. “Apakah kau masih ingin berpura-pura terus.”

“Aku tidak berpura-pura Temunggul. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti, apakah yang sebenarnya kau maksudkan.”

Temunggul menjadi semakin marah. Sekali lagi ia membentak, “Jangan bermain gila terhadapku Bramanti. Aku dapat berlaku sopan, tetapi aku juga dapat berlaku kasar.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dahinya berkerut ketika ia melihat dua orang lagi kawan Temunggul berjalan mendekatinya.

“Apakah anak itu bertingkah?” bertanya salah seorang daripadanya.

“Ia masih berpura-pura,” jawab Temunggul. “Ia sama sekali tidak merasa bersalah,” kemudian kepada Bramanti ia bertanya, “Betulkah begitu? Kau tidak merasa bersalah?”

“Bukan aku tidak merasa bersalah, Temunggul. Tetapi aku belum mengetahui, apakah kesalahanku. Kalau kau menunjukkannya, aku kira aku akan segera mengerti.”

Sekali lagi Temunggul menggeram. Namun ia berkata juga, “Kau berpura-pura mandi dan mencuci pakaianmu Bramanti, tetapi agaknya kau sedang menunggu gadis-gadis lewat. Agaknya sudah menjadi kebiasaanmu untuk mengganggu gadis-gadis.”

Tuduhan itu serasa bara api yang menyengat telinga Bramanti. Kini ia menyadari keadaan yang dihadapinya. Kini ia mengerti, apakah sebenarnya yang dimaksud Temunggul. Agaknya meskipun tidak disebutkan, Temunggul sangat berkeberatan atas pertemuannya dengan Ratri di tempat ini beberapa waktu yang berlalu.

“Nah, apakah katamu sekarang?” desis Temunggul.

Bramanti tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Temunggul yang telah menjadi merah, wajah kawan-kawannya yang tegang, dan ketika diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya, dilihatnya satu dua orang sedang bekerja di sawah.

“Tidak ada kesempatan lagi bagimu Bramanti,” geram Temunggul. “Kau harus menerima akibat. Selama ini kita berusaha melindungi gadis-gadis kita dari tangan-tangan orang Panembahan Sekar Jagat, ternyata kau sendiri akan melakukannya.”

“Temunggul,” jawab Bramanti, “Apakah kau pernah melihat aku melakukannya seperti apa yang kau katakan?”

Pertanyaan itu agak membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab kasar, “Jangan banyak bicara. Kau harus ikut kami. Jangan mencoba melakukan kebodohan.”

“Pakaianku masih basah,” Bramanti mencoba mencari dalih.

“Aku tidak peduli,” jawab Temunggul. “Kau harus ikut aku.”

“Kemana?”

“Jangan bertanya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Apakah ia harus menuruti kemauan Temunggul, mengikutinya kemana ia pergi? Meskipun tidak pasti, namun Bramanti dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas dirinya.

“Cepat,” Temunggul hampir berteriak.

“Tetapi kainku?”

“Cepat ambil. Kemudian ikuti aku.”

Bramanti yang masih mencoba untuk tidak membuat keonaran tidak berusaha membantah lagi. Ia pun kemudian turun ke tepian mengambil kainnya yang basah dan melingkarkan kainnya yang kering di atas celananya yang basah. Kemudian ia merangkak kembali naik ke tanggul.

“Ayo, ikuti kami.”

Bramanti tidak menjawab. Ia mengikuti saja langkah Temunggul, sedang kawan-kawannya berjalan dibelakangnya.

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika Bramanti mengetahui kemana mereka berjalan. Namun demikian ia masih bertanya, “Kemana kita, Temunggul?”

“Kau tahu, jalan ini akan sampai kemana? Kita menyusur parit itu, kemudian berbelok ke kiri di atas jalan pematang.”

“Ke gerojokan di bawah bendungan?”

“Kau menebak tepat.”

Dada Bramanti berdesir tajam. Ia menyadari apa yang akan terjadi. Gerojokan di bawah bendungan itu jarang sekali didatangi orang. Karena itu, maka segera terbayang, Temunggul akan melepaskan kemarahannya itu tanpa diganggu orang.

“Gila,” desis Bramanti. “Kalau aku menjadi gila pula, maka aku akan mengalami kesulitan.”

Tetapi Bramanti tidak mendapat kesempatan untuk menolak. Ia harus mengikuti langkah kaki Temunggul. Pergi ke bawah bendungan ke gerojogan.

Sejenak kemudian mereka pun telah meniti pematang yang akan sampai ke tanggul sungai di sebelah gerojogan itu. Disisi tebing sungai itu agak tinggi dan terjal, sehingga jarang sekali orang yang memerlukan turun, apabila tidak mempunyai kepentingan apapun.

Semakin dekat dengan gerojogan, dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Namun ia masih sempat mengendapkan perasaannya. Dan bahkan ia selalu berkata di dalam hatinya, “Aku harus mengendalikan diri sebaik-baiknya.”

Tetapi ketika mereka telah sampai di atas tanggul, Bramanti menjadi ragu-ragu atas dirinya sendiri. Kalau ia tidak berhasil mengendalikan perasaannya, maka akibatnya akan menghapuskan semua usaha yang pernah dirintisnya. Karena itu, maka ketika ia telah berdiri di atas tanggul, ia berhenti.

“Cepat kau turun Bramanti. Aku pun akan segera turun.”

Bramanti masih tetap berdiri diam.

“Cepat,” teriak Temunggul.

“Apa yang akan kalian lakukan atasku?” bertanya Bramanti.

“Itu bukan persoalanmu. Terserah kepada kami. Kau sudah melanggar janjimu. Aku hanya akan sekadar memberi peringatan kepadamu. Berterima kasihlah kau, bahwa aku masih berbaik hati, memberimu sekadar peringatan. Ayo cepat.”

Bramanti masih tetap berdiri tegak.

“Jangan membuat aku semakin marah Bramanti. Cepat turun.”

Tiba-tiba Bramanti menggelengkan kepalanya. Gumamnya seakan-akan kepada diri sendiri. “Aku tidak ingin turun.”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ketegangan yang tumbuh dari dalam dadanya.

“Satu, dua, tiga…..” setiap bilangan telah membuat dada Bramanti semakin tegang. Dan bilangan itu pun semakin naik juga, “empat,….. lima.”

Bramanti masih tetap berdiri saja ditempatnya. Sehingga karena itu, maka Temunggul pun telah kehilangan kesabarannya. Tebing itu memang cukup dalam, tetapi Temunggul telah memperhitungkannya, apabila Bramanti terjerumus, ia tidak akan mati karenanya. Karena itu, maka dikejapkannya matanya kepada salah seorang kawannya.

Kawannya mengerti maksud Temunggul. Dengan serta merta ia meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah Bramanti yang berdiri tepat di atas tanggul.

Bramanti memang sudah menduga, bahwa Temunggul akan melakukannya, meskipun ia meminjam tangan orang lain. Tetapi Bramanti sama sekali tidak ingin jatuh terguling dan terbanting di tepian meskipun di alasi dengan pasir. Tubuhnya pasti akan terluka oleh goresan batu-batu padas pada lereng yang terjal.

Karena itu, hampir di luar sadarnya Bramanti berusaha untuk menghindari hal itu.

Kawan Temunggul yang berusaha mendorong Bramanti, sama sekali tidak melihat Bramanti bergerak. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia maju beberapa langkah lagi dan dengan sekuat tenaganya ia berusaha melempar Bramanti.

Tetapi orang itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa Bramanti telah membuat suatu perhitungan yang tepat. Kalau ia jatuh terdorong oleh kekuatan orang lain, dan kemudian berguling ditebing itu, ia pasti akan terluka. Karena itu, maka ketika tangan kawan Temunggul itu menyentuh tubuhnya, Bramanti justru melemparkan dirinya sendiri meloncat ketepian di bawah. Dengan demikian ia dapat mengatur dirinya dan sama sekali tidak menyentuh batu-batu padas tebing sungai yang agak tinggi itu.

Namun hal itu sama sekali tidak diduga oleh kawan Temunggul yang berusaha untuk mendorongnya, bahkan oleh Temunggul sendiri dan kawan-kawannya yang lain. Dengan demikian, maka tenaganya sama sekali tidak menemukan tahanan apapun. Maka, tanpa dapat menahan dirinya sendiri, orang itupun terjerumus pula masuk ke dalam sungai. Karena ia sama sekali tidak bersiap untuk mengalami hal serupa itu, maka tubuhnya itu pun terguling di atas batu-batu padas tebing, untuk kemudian terbanting di atas pasir.

Melihat hal itu Temunggul dan kawan-kawannya yang lain terkejut bukan kepalang. Namun justru sejenak mereka seakan-akan membeku ditempatnya. Mereka melihat dengan mulut ternganga, Bramanti meloncat turun. Ketika ia jatuh diatas kedua kakinya ia berhasil berdiri tegak tanpa mengalami cidera apapun. Kemudian disusul oleh tubuh kawan Temunggul, yang jatuh seperti seonggok tanah liat.

Sebelum Temunggul dapat berbuat sesuatu, ia masih melihat Bramanti berlari-lari mendapatkan kawannya yang terjatuh itu. Kemudian menolongnya, menyandarkan pada sebuah batu padas di tebing. Dengan kainnya ia membersihkan wajah orang itu yang penuh dengan pasir dan tanah berlumpur.

“Gila kau Bramanti,” tiba-tiba Temunggul berteriak. Suara teriakan itu telah mengejutkan Bramanti, sehingga orang yang sedang ditolongnya itu dilepaskannya. Beberapa langkah ia menjauhi sambil memandang ke atas tanggul.

Namun kemudian disadarinya, bahwa sebentar lagi Temunggul dan kawan-kawannya yang lain pasti akan turun pula. Karena itu, maka daripada terjadi keributan, lebih baik baginya untuk meninggalkan tempat itu.

Dengan demikian, maka Bramanti pun kemudian berlari meninggalkan orang yang masih duduk dengan lemahnya bersandar sebongkah batu padas yang berwarna kehijau-hijauan.

Dada Temunggul berdesir melihat Bramanti masih sempat melarikan dirinya. Karena itu, dengan serta merta ia berteriak, “He, tangkap anak itu. Jangan biarkan ia lari.”

Tetapi kawan Temunggul yang bersandar batu padas dibawah, sama sekali sudah tidak berdaya. Apalagi menangkap Bramanti, sedang untuk bernafaspun terasa betapa sukarnya.

Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang dapat menahan Bramanti. Ia berlari menyusur sungai. Meloncat dari batu yang satu ke batu yang lain, dan kemudian menyeberangi arus yang tidak terlampau deras. Semakin lama semakin jauh. Ketika Bramanti kemudian memanjat tebing diseberang dan naik ke bendungan, maka Temunggul pun baru menyadari seluruh keadaan.

“Anak setan,” ia menggeram. “Marilah kita tolong anak itu.”

Temunggul dan kawan-kawannya kemudian menuruni tebing yang agak curam. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mendekati kawannya yang hampir menjadi pingsan. Beberapa bagian tubuhnya terluka oleh goresan batu-batu padas yang menjorok di tebing.

“Bagaimana hal ini dapat terjadi?” bertanya Temunggul.

Kawannya yang terluka itu menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.

“Kau kurang hati-hati,” sahut yang lain.

“Tidak,” potong Temunggul. “Memang Bramanti adalah seorang yang sangat licik. Kali ini ia berhasil melepaskan diri dari tanganku. Tetapi tidak lain kali.”

“Aku telah dilukainya,” desis orang yang terluka itu. “Aku harus membalasnya. Aku tidak akan dapat menunggu terlampau lama. Apabila aku sudah baik, aku akan segera mencarinya. Kemana saja. Kalau perlu aku akan datang ke rumahnya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Dan seorang kawannya yang lain berkata pula. “Aku sependapat. Kalau perlu kita datangi rumahnya. Anak itu kita ambil saja dan kita bawa kemana kita inginkan. Tetapi hati-hati. Ternyata ia memang sangat licik.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja Temunggul berkata, “Kita pergi ke Kademangan. Mereka akan melihat kau terluka. Kita dapat mengatakan apa saja. Misalnya kita dapat mengatakan, bahwa Bramanti telah mulai dengan usaha pembalasan dendamnya, dengan mendorong kau ke dalam jurang ini. Dengan demikian maka pembalasan kita kepadanya akan sepengetahuan Ki Demang dan Ki Jagabaya. Sebab apabila kita bertindak sendiri, mungkin oleh Ki Jagabaya kita dianggap bersalah.”

Kawan-kawannya berpikir sejenak. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi Bramanti bukan seorang anak yang bisu. Ia dapat mengatakan yang lain. Ia dapat mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tidak mengapa. Aku yakin bahwa mereka akan lebih mempercayai kita daripada Bramanti.” sahut Temunggul. “Nah, bagaimana? Kita tidak perlu membalasnya dengan bersembunyi-sembunyi. Akulah yang akan melakukannya dihadapan Ki Demang, Ki Jagabaya dan dihadapan orang-orang Kademangan Candi Sari. Biarlah mereka melihat, bahwa kita memang tidak menganiayanya. Nah, aku kira Bramanti akan benar-benar menjadi jera dan tidak akan berani berbuat lagi.”

“Kalau saja Ki Demang dan Ki Jagabaya mempercayai kita,” gumam salah seorang kawannya.

“Aku yakin,” sahut Temunggul, kemudian kepada kawannya yang terluka ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

“Baik. Aku sependapat.” anak muda itu berhenti sejenak lalu. “Tetapi bagaimana dengan aku sekarang? Luka-lukaku terasa terlampau pedih. Mungkin tangan kiriku terkilir pula. Aku sama sekali tidak tahu bahwa Bramanti mempunyai akal yang begitu licik dan licin.”

“Oh,” Temunggul berjongkok di samping kawannya itu, “Marilah aku bersihkan luka-lukamu dengan air sungai. Kemudian kita pulang bersama-sama untuk mencari obat.”

Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ketika Temunggul dan kawan-kawannya mencoba mengangkatnya, ia menyeringai menahan sakit.

“Tahankan,” desis Temunggul. “Sebentar lagi kau akan mendapat kesempatan untuk membalas.”

“Aku akan membuatnya cacad seumur hidupnya.”

Temunggul pun kemudian memapah orang itu pergi ke air yang mengalir gemericik di sela-sela batu. Kemudian meletakkannya duduk di atas sebuah batu. Seperti memandikan anak-anak. Temunggul membersihkan anak muda itu. Menghilangkan pasir dan lumpur dari tubuhnya, mencuci luka-lukanya yang berdarah dan memijit-mijit punggungnya yang serasa patah perlahan-lahan. 

Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu anak itu mampu berdiri dan berjalan sambil bersandar kepada kawannya. Dengan susah payah mereka berjalan menyusur sungai, naik ke bendungan yang tidak setinggi tebing, kemudian dari bendungan mereka merayap perlahan-lahan ke atas tanggul.

Temunggul menarik nafas ketika mereka berdiri di atas tanggul sungai itu. Kemudian dengan lantang ia berkata, “Sekarang kita langsung ke Kademangan,”

“Kenapa?”

“Biarlah setiap orang Kademangan melihat sendiri luka-luka ditubuhmu. Biarlah mereka melihat darah itu. Dengan demikian maka hati mereka akan segera terbakar daripada mereka melihat kau kelak, apabila kau sudah sembuh.”

“Tetapi punggungku sakit sekali.”

“Justru karena itu.”

Anak muda yang terluka itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Baik. Baiklah. Aku sependapat.”

Maka mereka itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan menuju ke Kademangan. Disepanjang jalan mereka telah bersepakat untuk membuat ceritera palsu tentang Bramanti. Apapun yang mereka lakukan namun mereka ingin mendapat kesempatan untuk melepaskan dendam mereka kepada Bramanti.

Ternyata usaha mereka sebagian terbesar dapat berhasil. Orang-orang yang kebetulan melihat Temunggul memapah seorang kawannya segera bertanya, apakah sebabnya kawannya itu terluka.

“Kami akan mengatakannya di Kademangan,” jawab Temunggul.

“Kenapa mesti di Kademangan?” bertanya orang itu.

Temunggul menggelengkan kepalanya, “Ada sesuatu yang kami anggap penting.”

Orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia bergumam di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak mempunyai keperluan lain, aku akan memerlukan pergi ke Kademangan.”

Namun demikian, ada juga satu dua orang yang memerlukan pergi untuk sekadar mendengar sebab dari luka-luka itu.

Di Kademangan, Ki Demang segera memanggil orang-orang terdekat. Termasuk Ki Jagabaya atas permintaan Temunggul. Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda yang lain.

“Katakan Temunggul,” berkata Ki Demang kemudian. “Kami ingin segera mengetahui, apakah yang telah terjadi. Kalau hal ini tidak kau anggap penting, aku kira anak ini tidak akan kau bawa kemari selagi ia masih menyeringai kesakitan.”

“Ya Ki Demang, justru ia masih dalam keadaannya, ia aku bawa kemari, supaya Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang lain melihat apa yang telah terjadi.”

“Ya, katakanlah.”

“Ki Demang, Ki Jagabaya dan kawan-kawan,” berkata Temunggul, yang meskipun agak gemetar, namun kemudian ia dapat berbicara dengan lancar juga. “Ternyata Bramanti telah mulai.”

“Apa maksudmu?”

“Seperti yang kita duga semula. Ia telah mulai melakukan balas dendam. Yang pertama-tama menjadi sasaran adalah anak ini. Bramanti menyangka bahwa ayahnya ikut serta melakukan pembunuhan kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”

Dada Ki Demang berdesir. Apalagi Ki Jagabaya. Wajahnya segera menjadi merah padam. “Kenapa anak itu?” bertanya Ki Jagabaya.

“Ia terperosok ke dalam pereng sungai di gerojokan,” jawab Temunggul.

“Ya, kenapa?”

“Itulah yang akan kami katakan. Bramantilah yang mendorongnya. Selagi anak itu berdiri di tanggul, tanpa diketahuinya Bramanti mendekatinya. Tiba-tiba ia didorong masuk. Untunglah, bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya. Meskipun demikian, inilah keadaannya.”

“Setan alas,” Ki Jagabaya menggeram. “Bukankah ia sudah berjanji, bahwa ia tidak akan melepaskan dendamnya itu?”

“Tetapi sekarang Ki Jagabaya melihatnya sendiri.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi seakan-akan terbakar. Hampir saja ia langsung meloncat ke rumah Bramanti, seandainya Temunggul tidak berkata, “Nah, marilah kita bicarakan, apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

“Kenapa ia memilih anak itu?” bertanya Ki Demang.

“Agaknya Bramanti tidak memilih. Adalah suatu kebetulan ia melihatnya berdiri di atas tanggul. Diam-diam ia mendekatinya dan mendorongnya jatuh. Kalau anak itu mati, maka rahasia itu tidak akan diketahui oleh orang lain.”

“Bodoh,” potong Ki Jagabaya. “Kelincipun tidak akan mati. Paling parah, adalah karena goresan-goresan batu-batu padas itu.”

“Bramanti memang anak licik yang bodoh. Ia menginginkan anak itu mati seketika. Orang akan menganggapnya sebagai suatu kecelakaan saja. Demikian ia akan mencari kesempatan berturut-turut.”

“Aku akan menangkapnya,” geram Ki Jagabaya.

“Tidak perlu Ki Jagabaya. Aku akan dapat melakukannya. Aku adalah pemimpin pengawal Kademangan ini. Aku akan mengajarinya agar ia tidak melakukan untuk lain kali.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeram, “Akulah yang bertanggung jawab.”

“Tetapi masalah anak-anak serahkanlah kepada anak-anak. Aku akan menyelesaikannya,” Temunggul berhenti sejenak. “Sebenarnya aku akan segera menyelesaikannya. Tetapi aku memerlukan datang kemari untuk meminta dukungan atas tindakanku. Sekadar untuk diketahui dan dibenarkan.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling kepada Ki Demang.

“Biarlah anak-anak menyelesaikannya,” desis Ki Demang. “Tetapi jangan kita biarkan mereka pergi sendiri. Kadang-kadang aku bercuriga, apakah Bramanti itu bukan sekadar seseorang yang dipergunakan oleh orang lain di Kademangan ini.”

“Ya. Aku pun mencurigainya,” sahut Ki Jagabaya. “Bahkan mungkin ia adalah seseorang yang sengaja ditanam oleh Panembahan Sekar Jagat, karena kebetulan ia orang Kademangan ini.”

Ki Demang menggeleng. Tetapi ia tidak berkata apapun juga tentang itu. Bahkan kemudian ia berkata, “Marilah, aku, Ki Jagabaya dan beberapa orang akan melihatnya.”

“Terima kasih Ki Demang. Aku akan minta ijin dan kesempatan untuk memberinya peringatan dengan caraku.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Tetapi kami yang tua-tua tidak akan melepaskan kalian.”

“Aku akan mengambilnya di rumahnya.”

“Terserah.”

Sebelum mereka berangkat, seorang naik ke pendapa Kademangan, lalu duduk di antara para pengawal. Sejenak ia berdiam diri, namun kemudian sambil berbisik ia bertanya kepada seseorang yang terdekat. “Apakah yang telah terjadi?”

Maka diceriterakannya apa yang dikatakan oleh Temunggul, sehingga anak muda itu, Panjang, terperanjat.

“Aku melihatnya ketika ia pergi ke sungai,” Panjang menjadi ragu-ragu. “Tetapi apakah betul Bramanti melakukannya?”

Dalam keragu-raguan itu ia pun kemudian berdiri karena beberapa orang yang lainpun berdiri juga.

“Kemana kita akan pergi?” bertanya Panjang kepada orang disebelahnya.

“Mengambil Bramanti,” jawab orang itu.

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian diam saja. Meskipun demikian, ia tidak begitu yakin, bahwa sebenarnya demikianlah yang telah terjadi. Tetapi ia tidak akan dapat mengatakannya.

“Begitu besar perhatian orang-orang Kademangan ini sehingga Ki Demang dan Ki Jagabaya memerlukan pergi,” Panjang bergumam di dalam hatinya. “Kenapa Ki demang tidak memerintahkan saja salah seorang pergi untuk mengambil Bramanti?”

Namun sebelum ia menyatakan keheranannya itu, orang disebelahnya telah mendahului. “Ki Demang dan Ki Jagabaya bercuriga. Apakah tidak ada kekuatan lain dibelakang Bramanti.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanyaan itulah agaknya yang telah menarik perhatian para pemimpin dan bebahu Kademangan ini.

Maka sejenak kemudian sebuah iring-iringan kecil telah keluar dari halaman Kademangan, berjalan dengan tergesa-gesa ke rumah Bramanti. Anak muda yang terluka itu pun ikut serta, meskipun ia masih harus dipapah oleh orang lain. 

“Beberapa hari yang lalu, Ratri juga tergelincir di pereng sungai itu,” tiba-tiba saja Panjang berdesis.

“Tetapi itu adalah salahnya sendiri. Ia berlari-lari dan bekejaran di sepanjang tanggul. Kemudian ia tergelincir. Untung bahwa tebing itu tidak sedalam tebing digerojogan.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepalanya yang terangguk-angguk itu telah dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan dan pertimbangan. Apalagi apabila ia menghubungkan Bramanti dengan dugaannya selama ini, maka apa yang terjadi itu sama sekali tidak masuk di akalnya.

Meskipun demikian Panjang berjalan saja di dalam iring-iringan kecil itu menuju ke rumah Bramanti.

Sementara itu Bramanti dengan nafas terengah-engah masuk ke dalam kandangnya. Segera ia menghempaskan dirinya sambil memijit-mijit kakinya. Meloncat sedemikian tingginya, terasa juga kakinya agak menjadi sakit.

“Hem,” ia kemudian berdesah. “Aku kira pasti masih akan ada akibat dari permainan ini,” desisnya.

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya diluar sadarnya. Namun ia menjadi bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan, apabila sesuatu akan terjadi?

Tanpa dikehendakinya, Bramanti menengadahkan wajahnya. Meskipun ia tidak melihat sesuatu, namun ia tahu benar, bahwa di atas belandar itu ia menyimpan sebuah pedang pendek.

Bramanti terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang mendekati kandangnya. Kemudian sebuah kepala tersembul dari balik pintu.

“Oh,” Bramanti pun berdiri sambil mempersilakan. “Apa paman akan masuk ke dalam kandang ini?”

Ki Tambi tersenyum. Jawabnya, “Apa salahnya, bukankah aku sudah sering masuk dan duduk di dalam kandang ini.”

Bramanti pun mencoba tersenyum pula, meskipun senyumnya terasa hambar.

“Apakah paman akan bertemu ibu?”

“Tidak, kali ini tidak. Aku hanya sekadar mampir,” Ki Tambi berhenti sejenak. Tatapan matanya tiba-tiba hinggap pada pakaian Bramanti yang agak tidak wajar. Meskipun ia mamakai kain, tetapi kain itu telah menjadi basah.

“Paman melihat pakaianku yang basah?”

“Ya. Apakah kau terperosok ke dalam parit?”

Bramanti menggeleng, “Tidak paman. Tidak hanya sekadar parit. Tetapi aku telah terjerumus ke dalam suatu kesulitan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. “Apakah yang telah terjadi?”

Bramanti menarik nafas. Kemudian diceriterakannya apa yang telah terjadi atasnya, dan apa yang telah dilakukannya.

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Hampir saja ia berteriak kegirangan. Dengan demikian ia mendapat bukti bahwa Bramanti memang bukan orang kebanyakan meskipun caranya berceritera terlampau sederhana.

“Tetapi perhitungannya yang tepat, dan kemampuannya meloncat dari tebing tanpa mengalami gangguan apapun adalah suatu pertanda bahwa ia memang luar biasa,” desis Ki Tambi di dalam hatinya.

“Paman, aku kira Temunggul dan kawan-kawannya tidak akan berhenti sampai disini. Aku kira mereka akan mendendam. Setiap saat dendam itu akan dapat meledak.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, memang mungkin. Lalu apakah yang akan kau lakukan seandainya mereka akan berbuat sesuatu atasmu?”

“Itulah yang akan aku tanyakan kepada paman. Apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

“Melawan mereka,” sahut Ki Tambi.

“Mana mungkin paman?” suara Bramanti melonjak, lalu nadanya merendah. “Aku akan mengungsi saja paman. Aku tidak mau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Kemana kira-kira kau akan mengungsi?”

“Aku tidak tahu.”

“Apakah kau akan minta perlindungan Resi Panji Sekar?”

Terasa dada Bramanti berdesir. Sepercik keheranan melonjak ke wajahnya, namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. “Aku belum mengenal Resi Panji Sekar paman.”

Namun Ki Tambi justru tertawa, meskipun ia tidak segera menjawab.

“Kenapa paman tertawa?”

“Tidak apa-apa. Tetapi terserahlah kepadamu. Kalau jalan yang kau anggap paling baik adalah mengungsi, maka pergilah mengungsi. Aku bersedia mengantarmu.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka berdua saling diam diri sehingga kandang itu menjadi sepi.

Sementara itu iring-iringan yang mendatangi rumah Bramanti menjadi semakin dekat. Temunggul yang berjalan paling depan tersenyum di dalam hatinya.

Ia akan mendapat kesempatan melepaskan sakit hatinya kepada Bramanti tanpa dicurigai dan dipersalahkan oleh siapapun. Bahwa sekarang hubungannya dengan Ratri seakan-akan menjadi semakin jauh adalah karena Bramanti itu pula.

“Aku harus membuatnya benar-benar jera,” katanya di dalam hati.

Bramanti yang masih berada di kandangnya sama sekali tidak menyangka, bahwa ekor dari peristiwa itu, dan yang selama ini dicemaskannya, akan begitu cepat terjadi, sehingga ia masih saja duduk dikandangnya.

“Aku akan menghindar saja paman,” terdengar kemudian ia mengeluh. “Aku tidak mau menjadi kambing hitam di Kademangan ini.”

“Lalu kau tinggalkan lagi rumah dan ibumu?”

Bramnati menarik nafas dalam-dalam.

“Aku menjadi bingung, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

“Jangan bingung Bramanti. Lakukanlah menurut kehendakmu. Mana yang baik itulah yang kau lakukan. Mana yang baik menurut pendapatmu tentu.”

“Aku bingung paman.”

“Kau buat sendiri menjadi bingung. Apakah kau akan berusaha mengungsi pula ketika aku mengatakan kepadamu, bahwa pada suatu ketika orang-orang Panembahan Sekar Jagat mungkin sekali akan datang ke rumah ini?”

“Aku memang sudah memikirkannya paman.”

“Dan sekarang ekor dari persoalan ini akan mempercepat langkahmu meninggalkan rumah dan ibumu yang sudah tua?”

Bramanti terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Namun sekali lagi diluar sadarnya ia menengadahkan kepalanya, memandang ke atas blandar. Tetapi ia tidak melihat sesuatu.

Ketika Bramanti kemudian merenung, maka Temunggul beserta iring-iringannya menjadi semakin dekat. Mereka telah berada di ujung desa tempat tinggal Bramanti. Mereka hanya tinggal melangkah beberapa puluh langkah lagi, kemudian mereka akan segera mengetuk pintu rumah itu apabila pintu itu tertutup.

Seperti pada saat-saat Bramanti baru datang, maka kini mereka tidak hanya akan sekadar memberinya peringatan dan ancaman, tetapi mereka pasti akan berbuat sesuatu.

Sekali-sekali Temunggul tersenyum sendiri. “Ratri harus melihat bahwa aku adalah seorang laki-laki. Aku tidak mau diremehkan dan direndahkan. Ia akan mendengar, suatu saat aku telah berkelahi melawan Bramanti.

Ya, aku akan minta kepada Ki Demang untuk berkelahi seorang melawan seorang kali ini. Aku akan mendapat kepuasan menghajarnya. Kemudian biarlah anak yang terluka itu melepaskan sakit hatinya pula.” 

Dalam pada itu, dikandang, dihalaman rumah Bramanti. Ki Tambi berkata, “Sampai kapan kau akan menjadikan dirimu sendiri itu menjadi orang yang paling hina? Kau adalah seorang laki-laki. Berbuatlah seperti seorang laki-laki.”

Bramanti tidak segera menjawab. Sebenarnya di dalam dadanya sendiri telah bergolak maksud untuk lebih dahsyat lagi daripada sekadar sebuah pertanyaan serupa itu. Namun setiap kali ia selalu mencoba mengekang diri.

Yang paling pahit bagi Bramanti adalah setiap tuduhan, bahwa ia akan melakukan balas dendam atas kematian ayahnya. Sebab dengan demikian, maka maksudnya untuk menyatu kembali di dalam masyarakat Kademangannya pasti tidak akan dapat berhasil dengan baik. Sehingga dengan demikian maka jarak antara dirinya dengan orang-orang Kademangan Candi Sari akan menjadi semakin jauh. Lalu, apakah dengan jarak yang semakin jauh itu ia akan dapat berbuat sesuatu untuk Kademangan ini? Apalagi untuk mencuci nama ayah dan keluarganya?

Karena pergolakan di dalam hatinya itulah Bramanti tidak segera menjawab.

“Bramanti,” berkata Ki Tambi. “Adalah baik sekali bahwa seseorang itu rendah hati, menahan diri, berbaik dengan semua orang, tidak sombong, tidak angkuh dan segala macam kelakuan lain menurut orang tua-tua. Tetapi apakah dengan demikian kita akan membiarkan orang lain itu berbuat sekehendak hati atas kita? Temunggul dapat berbuat sesuka hatinya, tetapi tidak melampaui batas. Aku tidak suka dengan perbuatan-perbuatan semacam itu.”

“Ia mempunyai kekuasaan di Kademangan ini paman.”

“O, apakah ia menyangka, bahwa kekuasaannya itu dapat dibuat apa saja sesuka hatinya? Bahkan menyalahgunakan kekuasaan itu?”

Bramanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.

“Bramanti,” desis Ki Tambi. “Sebenarnya aku menaruh curiga padamu.”

“He,” Bramanti terperanjat. “Apakah yang paman curigai atasku.”

“Tidak dalam arti yang jelek Bramanti. Tetapi sebaliknya.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Ditatapnya saja wajah Ki Tambi yang menjadi bersungguh-sungguh.”

“Bramanti,” berkata Ki Tambi kemudian. “Sebenarnya aku menganggap bahwa kau bukanlah seorang seperti yang kau perkenalkan selama ini. Orang yang hanya mampu mengungsi apabila menghadapi masalah yang penting. Yang hanya dapat melarikan diri dan bersembunyi.”

“Aku tidak mengerti paman.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Aku menangkap sesuatu padamu. Aku menjadi semakin yakin ketika aku melihat orang Panembahan Sekar Jagat yang terluka itu memandangmu seperti memandang hantu.”

“Ah,” desis Bramanti. “Paman selalu mengada-ada saja.”

“Tidak Bramanti, aku tidak mengada-ada. Aku hanya ingin memperingatkan kau, bahwa keadaan Kademangan ini semakin lama akan menjadi semakin parah. Selain kelakuan anak-anak mudanya sendiri, Panembahan Sekar Jagat pun agaknya akan mengambil sikap yang lebih keras akibat kelakuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu. Nah, apakah kau masih juga akan selalu berbaring saja di dalam kandangmu dan hanya keluar apabila kau ingini sekadar bermain-main.”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.

Ki Tambi pun kemudian berdiam diri, seolah-olah memberi waktu kepada Bramanti untuk mencernakan kata-katanya di dalam hatinya. Sekali-kali dilihatnya wajah Bramanti yang menjadi semakin berkerut-kerut.

Kandang itu pun kemudian menjadi hening. Keduanya saling berdiam diri, sehingga yang terdengar hanyalah desah nafas mereka, dan sekali gemerisik tangan Ki Tambi menyentuh jerami kering.

Bramanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara ibunya yang terbatuk-batuk di dapur, karena asap kayu yang masih belum kering benar. Ibunya yang menjadi semakin tua, dan seolah-olah menjadi jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.

Ibunyalah selain gurunya, yang telah banyak mengekang dirnya. Dan ia tidak mau membuat hati ibunya semakin risau.

Namun tiba-tiba keheningan itu telah dipecahkan oleh suara hiruk pikuk di halaman. Beberapa orang telah memasuki regol dan bahkan sambil berteriak-teriak. “Jangan sampai anak itu lari.”

Ki Tambi dan Bramanti yang sedang berada di dalam kandang terkejut mendengarnya. Tiba-tiba saja keduanya meloncat berdiri.

“Siapa mereka?” desis Ki Tambi.

Bramanti termenung sejenak. Namun kemudian jelas baginya, suara yang paling dikenalnya adalah suara Temunggul.

“Mereka benar-benar datang,” desis Bramanti.

“Begitu cepat,” sahut Ki Tambi.

Bramanti menjadi bingung. Sebenarnya bingung. Karena itu maka dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah yang sebaiknya aku lakukan paman?”

“Terserah kepadamu. Tetapi kau adalah laki-laki. Kau sudah tahu apakah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang laki-laki.”

Jawaban Ki Tambi itu menjadi semakin membuat Bramanti semakin bingung sehingga karena itu, maka justru ia berdiri saja mematung.

Ketika suara itu menjadi semakin riuh, maka Ki Tambi lah yang pertama-tama keluar dari dalam kandang. Langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang berkata, “Itulah dia. Itulah.”

Namun segera disahut oleh yang lain. “Bukan, bukan anak itu.”

Dan yang lain lagi, “Ki Tambi. He, kau berada disini Ki Tambi.”

Ki Tambi tidak menyahut. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Sementara itu Temunggul berjalan tergesa-gesa mendapatkannya, “Apakah yang paman lakukan disini? Kami mencari Bramanti. Apakah ia ada dirumah?”

Tetapi Ki Tambi tidak menyahut. Ia berjalan terus ke arah Ki Demang yang berdiri di depan regol.

“Paman,” panggil Temunggul. “Kenapa paman diam saja.”

“Aku akan berbicara dengan orang-orang tua,” sahut Ki Tambi.

Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut. Meskipun demikian ia mengikuti langkah Ki Tambi mendekati Ki Demang.

“Ki Demang,” berkata Ki Tambi. “Kenapa kau bawa anak-anak ini kemari? Apakah dengan demikian kau sudah berlaku bijaksana?”

“Anak itu perlu peringatan,” yang menyahut adalah Ki Jagabaya. “Kalau dibiarkan maka ia akan membuat malapetaka bagi Kademangan ini.”

“Apakah yang telah dilakukannya?”

“Sebaiknya kau tidak usah ikut campur Ki Tambi. Selama ini kami selalu menghormati kau. Tetapi selanjutnya kau terlalu banyak mencampuri persoalan Kademangan ini,” sahut Ki Demang.

“Aku adalah penduduk Kademangan ini Ki Demang. Aku berhak berbuat sesuatu yang aku anggap bermanfaat bagi Kademangan ini. Karena itu, maka aku pun berkepentingan dengan persoalan kalian, karena itu juga persoalanku.”

“Minggir Ki Tambi,” berkata Ki Jagabaya. “Kau akan mendengar nanti. Persoalan apakah yang tengah kami selesaikan sekarang ini.”

“Tetapi adalah tidak pantas sama sekali, bahwa kalian orang-orang tua, telah membawa anak-anak dalam gerombolan serupa ini di Kademangan kita sendiri.”

“Bukan maksudku,” jawab Ki Demang. “Aku justru ingin mengawasi, apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda ini. Justru karena aku tidak menghendaki bahwa persoalan ini akan menjadi semakin parah.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi sehingga kau perlu mengawasi anak-anak itu langsung?”

“Bramanti sudah mulai.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Bertanyalah kepada Temunggul.”

Ki Tambi berpaling. Dan sebelum ditanya Temunggul telah berkata, “Lihat paman, anak itu menjadi luka parah ketika tiba-tiba saja Bramanti melemparkannya ke tebing di samping gerojogan.”

“He,” Ki Tambi terperanjat.

“Agaknya Bramanti telah mulai dengan pembalasan dendam yang sebenarnya. Ia menganggap ayah anak itu ikut membunuh ayahnya kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”

“Pikiran gila,” desis Ki Tambi. “Apakah kau kira Bramanti sudah menjadi gila? Dengan demikian ia pasti menyadari bahwa akibat perbuatannya itu akan berekor panjang. Seandainya ia benar-benar ingin membalas dendam, maka aku kira bukan begitu caranya.”

“Mungkin ia mengharap anak itu mati seketika, atau setidak-tidaknya terluka parah sehingga tidak dapat pergi dari tempatnya sampai saatnya ia mati, karena gerojogan itu jarang sekali dijamah orang.”

“Sebodoh-bodoh Bramanti, ia tidak akan membuat perhitungan begitu dungu,” kemudian kepada Ki Demang ia berkata, “Nah, apakah kau percaya akan hal itu Ki Demang?”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Yang menyahut adalah Temunggul. “Paman, adakah paman sudah bertemu dengan Bramanti? Nah, aku kira Bramanti telah meracuni paman dengan keterangan-keterangan palsu. Maaf paman, kedatangan kami kemari karena kami ingin bertemu dengan Bramanti.”

Ki Tambi untuk sejenak berdiri diri. Tidak bijaksana baginya apabila ia menahan anak-anak muda itu. Dengan demikian, maka ia sendiri pasti akan dilawannya. Apabila demikian, maka harga dirinya akan turun dimata anak-anak itu.

Sementara itu, ibu Bramanti terkejut pula mendengar hiruk pikuk di halaman. Sejenak ia mengintip dari balik pintu. Dilihatnya Ki Tambi sedang berbicara dengan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Temunggul. Namun terasa hatinya bergetar. Ia menjadi cemas, bahwa agaknya telah terjadi sesuatu dengan anaknya.

Apalagi ketika ia mendengar Temunggul berkata keras memanggil nama anaknya.

“Bramanti, dimana kau Bramanti?”

Perempuan tua itu menjadi gemetar. Sehingga tubuhnya menjadi lemah. Ketika ia mencoba keluar, maka langkahnya pun menjadi terhuyung-huyung. Dengan suara tersendat-sendat ia bertanya dari muka pintu rumahnya, “Kenapa kalian mencari Bramanti?”

Orang-orang yang berada di halaman itu berpaling. Ketika dilihatnya perempuan tua itu, beberapa orang segera memalingkan wajahnya.

Yang menjawab adalah Ki Jagabaya. “Kami memerlukan anakmu Nyi Pruwita. Kami ingin berbicara sebentar.”

“Kenapa dengan anakku.”

“Jangan bingung. Kami hanya ingin sekadar menemuinya.”

“Ya, tetapi kenapa dengan anakku. Apakah ia berbuat salah?”

“Tentu,” jawab Ki Jagabaya. “Karena itu jangan ikut campur. Anakmu sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab.”

“Tetapi ia anakku. Satu-satunya anakku yang ada.

“Jangan ikut campur,” desis Ki Demang. “Ki Jagabaya sudah memperingatkan. Kau tidak terlibat dalam persoalan anakmu.”

“Tapi ia anakku.”

“Diam,” bentak Ki Demang.

Perempuan itu menjadi semakin gemetar. Kakinya yang lemah menjadi semakin lemah. Tetapi ia mencoba berjalan melintasi pendapa. Bramanti adalah satu-satunya anaknya yang ada disampingnya. Sedang anaknya yang lain, menurut Ki Tambi telah terjerumus ke dalam dunia yang hitam pekat.

“Sebaiknya kau pergi. Pergi,” berkata Ki Jagabaya pula.

Tetapi Nyai Pruwita itu tidak pergi. Ia menyadari, bahwa kebencian orang-orang Kademangannya kepada suaminya sampai saat ini belum padam. Dan ia menyadari bahwa kebencian itu sebagian telah dilemparkannya kepada anaknya. Tetapi ia tidak pergi. Ia tidak akan membiarkan anaknya diperlakukan tidak baik.

Ki Tambi yang melihat perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih, segera mendekatinya. Sambil membantunya ia berkata, “Sudahlah, sebaiknya kau masuk saja Nyai.”

“Tetapi anakku.”

Perlahan-lahan Ki Tambi berbisik, “Serahkan kepadaku. Anakmu pasti dapat mengatasi kesulitan yang akan menimpanya. Jangan cemas. Aku ada di halaman ini. Dan kau lihat Panjang ada bersama dengan mereka, sehingga kalau perlu aku akan minta bantuannya.”

Perempuan tua itu mengerutkan keningnya sejenak. 

“Kalau kau berada di sini Nyai, maka keputusan Bramanti untuk mengambil sikap akan sangat terpengaruh. Karena itu, masuklah. Percayalah kepadaku, dan berdoalah.”

Perempuan tua itu memandang wajah Ki Tambi dengan penuh pengharapan. “Apakah kau dapat aku percaya?”

“Aku akan mencoba memenuhi kepercayaanmu.”

“Kau berjanji?”

“Aku janji.”

Perempuan tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku serahkan keselamatan anakku kepadamu.”

“Ya. Semoga.”

Maka perempuan itu pun kemudian dibimbing oleh Ki Tambi masuk kembali ke dalam pringgitan. Perlahan-lahan Ki Tambi menutup pintu sambil berdesis, “Nyai, anakkmu ternyata bukan sembarang orang. Percayalah.”

Perempuan itu tidak sempat menjawab, karena pintupun segera tertutup rapat.

Sementara itu, Bramanti masih berada di dalam kandang. Ia memang sengaja tidak beranjak dari tempatnya sampai ada seseorang menjenguk dan memaksanya keluar. Namun ketika terdengar orang-orang di halaman itu membentak-bentak ibunya, terasa hatinya tergetar. Ia tidak akan kehilangan pengamatan diri apabila orang-orang itu membentak-bentaknya bahkan memukulnya. Tetapi orang-orang itu ternyata membentak-bentak ibunya yang sudah tua. Karena itu, terasa darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.

Namun ketika bentakan-bentakan itu terdiam, Bramanti mencoba mengatur perasaannya kembali. Bahkan pertanyaan itu timbul lagi di dalam dadanya, “Apakah yang akan kulakukan?”

Dalam pada itu, ia masih mendengar Temunggul memanggilnya. “Bramanti, dimana kau bersembunyi?” Seluruh halaman rumahmu sudah diawasi. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi kali ini.”

Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Nafasnya serasa tertahan di kerongkongan ketika ia melihat dari sela-sela pintu kandang yang tidak merapat itu, dua orang berjalan ke kebun rumahnya.

“Kalau kau tidak keluar Bramanti,” suara Temunggul terdengar lagi. “Aku akan memasuki rumahmu dan mencari kau di dalamnya. Karena itu, supaya ibumu tidak menjadi semakin ketakutan, sebaiknya kau keluar.”

Kata-kata itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Kalau orang-orang itu memasuki rumahnya, maka ibunya memang akan menjadi semakin ketakutan. Karena itu, maka ia berbimbang sejenak, apakah tidak sebaiknya ia menampakkan diri. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana?”

Ki Tambi kini telah berada di halaman rumah itu lagi. Sekilas ia memandang wajah Panjang. Ia melihat wajah itu pun menjadi tegang. Namun ketika mereka beradu pandang Panjang menggelengkan kepalanya.

“Apakah maksud anak itu mengatakan bahwa ia tidak ikut campur?” bertanya Ki Tambi di dalam hatinya.

Namun ia masih mengharap, satu-satunya kemungkinan bagi Bramanti adalah berbuat jantan. Kalau ia ternyata seperti yang diduganya, maka mata orang Kademangan itu pasti akan segera terbuka, dengan siapa mereka berhadapan. 

“Tetapi kalau tidak?” Ki Tambi menjadi ragu-ragu. “Kalau Bramanti itu sebenarnya Bramanti seperti yang tampak sehari-hari?”

Ki Tambi mulai dirayapi oleh kecemasan di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata di dalam hatinya. “Aku sudah berjanji untuk melindunginya. Apapun yang terjadi. Akan sia-siakah perjalananku selama ini, kalau aku tidak berhasil melepaskan Bramanti dari tangan mereka. Aku yakin bahwa tidak semua orang akan berpihak kepada Temunggul. Setidak-tidaknya Panjang. Bahkan mungkin aku akan dapat menakut-nakuti orang-orang ini dengan lencana Panggiring. Kalau terjadi apa-apa atas Ki Tambi yang telah mendapat lencana Candi ini, Panggiring tidak akan tinggal diam. Dan Panggiring adalah kakak Bramanti betapapun hubungan yang kurang serasi di antara mereka.”

Keputusan itu telah memantapkan sikap Ki Tambi, sehingga kini ia tidak lagi menjadi gelisah. Ia berdiri dengan kaki tegak di halaman beberapa langkah dari Ki Demang.

Dalam pada itu beberapa anak-anak muda telah berkeliaran di halaman mencari Bramanti dan mengawasi setiap kemungkinan untuk melarikan diri. Namun sampai begitu jauh mereka sama sekali belum memasuki sebuah bangunan pun rumah, kandang dan lumbung yang kosong.

Dan sekali lagi Temunggul berkata, “Bramanti, kalau kau tidak keluar dalam hitungan ke sepuluh, aku akan masuk dan mencari kau di dalam rumahmu.”

Bramanti yang mendengar teriakan itu menjadi semakin gelisah. Yang digelisahkan adalah justru ibunya yang sudah tua. Kalau saja di rumah itu tidak ada ibunya, maka ia akan tetap berada di dalam kandang itu sampai seseorang menjenguknya dan memaksanya keluar. Tetapi, kini ia harus memperhitungkan ibunya itu pula.

Tanpa sesadarnya Bramanti menengadahkan wajahnya. Dipandanginya blandar yang membujur di atas tiang kandangnya. Di atas blandar itu ia menyimpan senjatanya. Sebuah pedang pendek.

“Apakah aku akan mengambilnya,” desisnya. “Ah tidak. Kalau mereka melihat aku bersenjata, mereka akan menjadi semakin gila.”

Bramanti menjadi semakin gelisah ketika ia mendengar hitungan Temunggul telah sampai ke angka lima. “Enam, tujuh….”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya.

“Delapan……..”

Bramanti tidak dapat membiarkan ibunya dicekik oleh ketakutan. Karena itu, maka ketika Temunggul mengucapkan hitungan ke sembilan, maka segera ia melangkah keluar dari kandang sambil berkata, “Aku disini Temunggul.”

Semua mata berpaling ke arahnya. Ki Tambi pun memandanginya dengan wajah yang tegang.

“Ha, bukankah kau berada disitu,” berkata Temunggul. “Aku sudah pasti bahwa kau berada di dalam kandang karena Ki Tambi keluar dari tempat itu juga. Kau sengaja akan menjebak kami?”

“Kenapa kau tidak masuk saja ke dalamnya,” potong Ki Tambi. “Dan kenapa kau pakai cara itu untuk memancingnya keluar? Setiap orang yang waras memang tidak akan tega membiarkan ibunya diburu oleh ketakutan. Hanya orang-orang yang tidak berperikemanusiaan sajalah yang mempergunakan orang-orang tua untuk kepuasan hati.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Ia hanya melihat sikap Ki Tambi yang agak justru berpihak kepada Bramanti. Namun ia masih menaruh hormat kepada orang tua itu. Karena itu, ia hanya memandangi Ki Demang dan Ki Jagabaya, seolah-olah menyerahkan Ki Tambi kepada mereka.

Karena itu Temunggul malahan tidak memperhatikannya lagi. Kini perhatiannya dipusatkannya kepada Bramanti yang masih berdiri dimuka kandang.

“Kemarilah Bramanti,” berkata Temunggul. “Di sini tempat lebih luas.”

Bramanti melangkah maju beberapa langkah. Wajahnya yang tegang memancarkan berbagai macam nada yang dalam dirinya penuh dengan teka-teki bagi Ki Tambi. Namun langkah Bramanti kali ini ternyata telah menumbuhkan debar di dalam dada orang tua itu.

“Nah, apakah kau sekarang masih akan ingkar Bramanti. Anak yang kau jerumuskan ke dalam jurang itu kini ada disini,” berkata Temunggul lantang.

Bramanti tidak menjawab. Ia melihat anak muda itu tertatih-tatih dibantu oleh dua orang kawannya maju ke dekat Temunggul.

“Ki Demang dan Ki Jagabaya akan menjadi saksi persoalan ini. Aku sebagai pemimpin pengawal mendapat tugas untuk menyelesaikannya. Untunglah, bahwa tugas yang diberikan kepadaku adalah sekadar memberimu peringatan dan sedikit cara untuk membuatmu jera.”

Bramanti masih belum menjawab. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa ia justru melangkah maju. Tatapan matanya kini langsung menusuk ke wajah anak yang terluka itu.

“Kau telah menjerumuskan aku,” anak yang terluka itu berbisik.

Bramanti masih tetap berdiam diri. Kini ia berdiri di dalam sebuah lingkaran yang menebar di halaman rumahnya.

“He, bukankah kau telah mendorong aku masuk ke dalam jurang?”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi ketika ia melangkah maju, anak muda itu tiba-tiba menjadi gemetar.

“Bramanti, jawablah,” bentak Temunggul.

“Temunggul,” nada suara Bramanti terdengar berat dan dalam. “Sebenarnya kau tidak perlu bertanya kepadaku. Kau tahu persoalan yang sebenarnya terjadi. Ayo, katakanlah. Apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau benar-benar seorang pemimpin dan lebih dari itu, kau memang seorang lelaki jantan, maka kau pasti akan berani berkata yang sebenarnya.”

Jawaban Bramanti itu sama sekali tidak diduga-duganya. Tatapan mata Bramanti yang lurus dan kata-katanya yang tegas, telah membuat dada Temunggul menjadi berdebar-debar. Sejenak ia terdiam. Namun sejenak kemudian, dipaksanya dirinya untuk mempertahankan tuduhannya. Ia tidak dapat mundur lagi. Di halaman itu berdiri banyak orang yang akan menjadi saksi.

“Aku tidak usah mengulanginya. Anak itu telah mengatakannya.”

Kini wajah Bramanti menjadi merah. Darah mudanya mulai bergolak di dalam dirinya. Ia telah merasakan banyak sekali penghinaan. Tetapi tuduhan yang licik ini membuat jantungnya mengelak. Telah sekian lama ia dihinakan. Sampai kapan? Ya sampai kapan? Seperti yang selalu di tanyakan oleh Ki Tambi kepadanya.

Namun sebelum Bramanti menyahut, semua orang berpaling ke arah sebuah suara, “Aku meragukan keterangannya.”

“Panjang,” desis Temunggul. “Kau Panjang? Apakah kepentinganmu dengan kata-katamu itu? Kau tidak melihat peristiwa ini terjadi.”

“Apakah kau juga melihat Temunggul?” bertanya Panjang.

Pertanyaan itu pun telah mendebarkan dada Temunggul. Ia tidak dapat segera dapat menyahut. Namunterbata-bata ia berkata, “Tidak. Aku tidak melihat. Tetapi bukankah anak ini telah mengatakannya.”

“Justru kata-katanyalah yang aku ragukan.”

“Tutup mulutmu,” bentak Temunggul. “Apakah kau juga harus mendapat hukuman seperti Bramanti?”

“Aku hanya ingin melihat kebenaran. Menurut keyakinanku, bukan itulah yang terjadi sebenarnya. Tetapi aku tidak tahu, apakah yang telah terjadi itu. Bahkan aku lebih percaya kepada Bramanti, bahwa seharusnya kau tidak usah menanyakannya kepadanya, karena kau mengetahui persoalan yang sebenarnya.”

“Diam,” Temunggul berteriak keras-keras.

Tetapi Panjang justru melangkah maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika Ki Jagabaya membentak, “Kau berhenti disitu Panjang. Kau jangan mengacaukan persoalan ini. Persoalan ini adalah persoalan Temunggul dan Bramanti.”

“Tidak,” yang menjawab adalah Ki Tambi. “Persoalan ini adalah persoalan kita semua. Apakah kita berani melihat kenyataan, ataukah kita ingin selalu dibayangi oleh mimpi dan tidur yang lelap. Nah, Ki Jagabaya. Kau adalah orang yang paling berkepentingan disamping Ki demang. Sekarang, cobalah, beranikan dirimu mendengarkan tidak hanya suara Temunggul dan orang-orang yang selalu dekat padamu. Kau harus berani mendengarkan suara orang lain. Suara Panjang, suaraku, suara Bramanti dan suara orang-orang lain lagi.” 

Ki Jagabaya menjadi gemetar mendengar kata-kata Ki Tambi itu. Dengan wajah yang merah ia berkata, “Akulah Jagabaya disini. Bukan kau.”

“Aku tahu. Dan justru karena itulah maka kau harus berdiri tegak di atas alas yang adil. Kaulah yang justru harus berani mendengar banyak keterangan dan kemudian mempertimbangkan, manakah yang meyakinkan dan dapat dipercaya.”

Ki Jagabaya menggeram. Tetapi ia tidak segera menjawab. Kata-kata Ki Tambi itu dapat menyentuh perasaannya, sehingga karena itu ia seakan-akan membeku ditempatnya.

“Nah, sebaiknya siapa yang akan berbicara, berbicaralah,” berkata Ki Tambi selanjutnya.

Halaman itu justru menjadi sepi. Beberapa orang saling berpandangan, dan beberapa anak-anak muda menjadi bimbang. Tidak pernah terjadi selama ini, kata-kata Ki Jagabaya dan Temunggul diragukan, apalagi dibantah. Anak-anak muda Kademangan Candi Sari seakan-akan terlampau patuh kepada pimpinan pengawalnya. Kata-kata Temunggul merupakan keputusan yang hanya dapat dibatalkan oleh Ki Jagabaya dan Ki Demang saja. Tetapi kini Panjang telah mulai mempersoalkannya.

Sekilas mereka teringat, bahwa Temunggul pernah marah kepada anak muda itu karena kelakarnya yang dianggap berlebih-lebihan. Namun mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja Panjang bersikap terlampau berani justru dihadapan Ki Demang dan Ki Jagabaya.

Namun yang mengherankan pula adalah sikap Ki Tambi. Seperti Panjang, sikapnya seakan-akan berpihak kepada Bramanti yang mereka sangka sedang mempersiapkan rencana yang mengerikan. Pembalasan dendam. Dan pembalasan dendam itu sudah dimulainya.

Kesepian itu menjadi terlampau tegang. Wajah-wajah yang kemerah-merahan, sikap yang kaku dan sorot mata yang membara. Sementara matahari serasa telah membakar halaman rumah itu.

Bersambung…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar