Tanah Warisan 7

Tanah Warisan 7


Lanjutan dari jilid 6

Terbersit sepercik kekecewaan Ki Tambi atas Bramanti yang selama ini dikaguminya. Memang, orang tua itu pun menyadari, tidak ada seorang pun yang sempurna, dalam segala hal. Bramanti yang rendah hati, berperasaan halus yang tidak mendendam meskipun ayahnya telah terbunuh dengan cara yang mengerikan, tetapi ia tidak dapat membuka hatinya untuk menerima kakaknya. Kakak seibu.


Tetapi Ki Tambi dan ibunya tidak dapat melihat isi hati Bramanti dalam keseluruhan. Mereka tidak dapat melihat alasan-alasan yang sebenarnya tersembunyi di dalam hati anak muda itu.

“Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita, “Temuilah anak itu sekali lagi. Katakanlah kepadanya, akulah yang berkeberatan untuk menerimanya.”

“Bukan ibu,” potong Bramanti, “Akulah yang berkeberatan.”

“Itu tidak bijaksana Bramanti. Panggiring akan dapat mendendammu. Tetapi tidak demikian kepadaku.”

“Apakah salahnya kalau ia memang akan mendendamku ibu? Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Bramanti,” suara perempuan itu menjadi parau, “Agaknya kaulah yang mendendamnya.”

Bramanti terperanjat, “Kenapa aku mendendamnya?” Aku tidak mendendam kepada siapapun juga ibu. Bahkan kepada orang-orang yang telah membunuh ayahku.”

“Kalau begitu, kau harus melepaskan setiap persoalan dengan kakakmu. Biarlah aku yang menolaknya,” kemudian kepada Ki Tambi ia berkata, “Ingat Ki Tambi. Akulah yang menolaknya.”

Ketika Bramanti akan menyahut, ibunya cepat-cepat mendahuluinya, “Jangan menolak Bramanti.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam.

Ki Tambi masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi ia menangkap maksud Nyai Pruwita, sehingga karena itu, meskipun ia tidak menjawab, namun kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Begitulah Ki Tambi,” berkata Nyai Pruwita kemudian, “Agaknya Bramanti sudah tidak akan merubah pendiriannya.”

“Maaf ibu,” sahut Bramanti, “Aku terpaksa.”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Karena itu, biarlah pamanmu Tambi berusaha untuk bertemu lagi dengan Panggiring.”

“Baiklah,” berkata Ki Tambi, “Aku akan menemuinya. Aku akan menyampaikan keputusan kalian seperti pesan Nyai.”

“Terima kasih Ki Tambi,” desis perempuan tua itu.

“Aku minta diri. Aku kira tidak ada lagi yang harus dibicarakan.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah Nyai,” kemudian kepada Bramanti ia berkata, “Baik-baiklah menjaga ibumu Bramanti.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Tetapi ia menangkap kesan yang aneh pada pesan Ki Tambi itu. Dan kesan itu ternyata tetap tergores didinding jantungnya.

Sepeninggalan Ki Tambi, Bramanti pun turun ke halaman. Seperti biasanya ia pergi ke kandang. Tetapi terasa kini betapa sepi halaman rumahnya yang demikian luasnya.

Terbayang wajah Ki Tambi yang kecewa. Dan Bramanti pun kemudian terbaring di atas setumpuk jerami sambil mencoba melihat ke dalam dirinya sendiri.

“Paman Tambi pasti menjadi kecewa,” katanya di dalam hati. “Tetapi apaboleh buat. Aku tidak dapat berbuat lain. Tetapi pada saatnya ia akan menyadari, bahwa aku telah bertindak tepat.”

Namun kemudian terngiang juga suatu tuduhan dalam dasar hatinya, “Kau terlampau mementingkan dirimu sendiri Bramanti. Bukankah kau menjadi cemburu, bahwa setiap kali Ratri selalu bertanya kepadamu tentang Panggiring, dan bukankah kau pernah juga mendengar bahwa ayah Panggiring, suami ibumu sebelum ia kawin dengan ayahmu adalah seorang Demang. Demang Kademangan Candisari.”

“Tidak, tidak.” Bramanti menggeram, “Aku tidak memikirkan itu semua. Aku memikirkan masa depan Kademangan ini.”

Tetapi bagaimana pun juga Bramanti tidak dapat menghindarkan diri dari pergolakan yang terjadi di dalam dirinya. Ia menyadari bahwa dengan demikian ia telah menyakiti hati ibunya. Selama ini ia berusaha untuk menyenangkan hati perempuan tua itu. Menumbuhkan kembali kebanggaan serta kepercayaan kepada diri dan keluarganya. Namun tiba-tiba ia sendirilah yang telah merobek kegembiraan yang sedang mulai dinikmatinya.

“Apaboleh buat, apa boleh buat. Aku telah melakukannya dengan terpaksa sekali.”

Dalam pada itu, Ki Tambi pun melangkah dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Ia menjadi kecewa. Kecewa sekali. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada menyampaikannya kepada Panggiring, yang tentu akan menjadi sangat kecewa pula. Anak itu merasa bahwa dunia di luar dunianya yang hitam itu ternyata tidak dapat menerimanya kembali.

“Kalau kekecewaannya itu telah mengguncangkan perasaannya, maka ia akan segera terlempar kembali ke dalam dunianya yang lama, justru dengan dendam yang semakin parah di dalam dirinya, terhadap dunia diluarnya,” berkata Ki Tambi di dalam hatinya.

“Kasihan perempuan itu,” desisnya.

Ketika seseorang menyapanya, Ki Tambi menjadi terperanjat, sehingga terbata-bata ia menjawab, “O, aku baru dari rumah Bramanti.”

Sambil mengerutkan keningnya orang itu bertanya, “Kenapa begitu tergesa-gesa?”

“Tidak. Aku tidak tergesa-gesa.”

Orang itu tersenyum. Dan Ki Tambi pun mencoba untuk tersenyum pula.

Malam-malam berikutnya, dengan dada berdebar-debar Ki Tambi selalu berada di sawahnya, menunggu kalau-kalau Panggiring menemuinya, sehingga hampir setiap malam ia terlambat sekali pergi ke Kademangan.

Perubahan itu ditangkap oleh Bramanti, sebagai suatu pernyataan kecewa Ki Tambi atas sikapnya. Betapapun, namun Bramanti setiap kali harus berdesis, “Apa boleh buat. Apa boleh buat.”

Dengan demikian, maka hubungan antara anak muda itu dengan Ki Tambi menjadi agak kaku karenanya.

Namun Ki Tambi adalah orang tua yang bijaksana. Selagi ia menyadari dirinya, maka ia selalu mencoba menghilangkan semua kesan yang ada padanya tentang kecewa yang tergores di dalam dadanya. Ia berusaha untuk tidak merubah sikapnya, kebiasaan-kebiasaan yang lain-lain, dan pembicaraan-pembicaraan, setiap ia bertemu dengan Bramanti. Tetapi satu yang tidak dapat disembunyikan, bahwa ia menjadi selalu lambat datang ke kademangan. Bahkan kadang-kadang hampir pagi ia baru muncul memasuki halaman.

Beberapa malam berturut-turut dengan gelisah Ki Tambi selalu duduk saja di pematang sawahnya. Kadang-kadang saja ia bangkit dan berjalan mondar-mandir. Namun sampai hari keempat, Panggiring masih juga belum menemuinya lagi.

“Apakah anak itu sudah dapat menduga, bahwa permintaannya itu akan ditolak?” desis Ki Tambi, kemudian, “Kasihan.”

Tetapi pada malam berikutnya, dengan dada berdebar-debar Ki Tambi melihat sesosok tubuh berjalan menyusur pematang mendekatinya. Ternyata bahwa orang itu adalah Panggiring.

“Kau Panggiring?” bertanya Ki Tambi.

“Ya paman.”

“Kemarilah, duduklah.”

Langkah Panggiring yang ragu itu sangat terkesan di hati Ki Tambi. Sama sekali bukan langkah seorang perampok yang pernah menguasai daerah yang luas di pesisir Utara. Langkah itu adalah langkah seorang yang penuh dengan kebimbangan dan kecemasan di dalam dirinya, tanpa kepercayaan kepada diri sendiri.

“Duduklah.”

“Terima kasih paman,” jawab Panggiring sambil duduk.

“Aku menunggumu setiap malam disini,” berkata Ki Tambi.

“Aku ragu-ragu paman,” jawab Panggiring, “Ketika aku menemui paman beberapa malam yang lampau, beberapa orang melihatku dan menyapaku.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Untunglah bahwa aku berhasil bersembunyi.”

Ki Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kemudian aku melihat pengawasan yang semakin ketat disetiap malam. Sehingga aku memerlukan waktu untuk mencari celah-celah penjagaan dan pengawasan itu.”

“Ya,” jawab Ki Tambi, “Orang itu telah melaporkan kepada Bramanti dan kemudian telah di dengar oleh Ki Jagabaya pula. Temunggul, pemimpin pengawal Kademangan telah mengatur penjagaan yang lebih ketat lagi. Tetapi aku yakin bahwa kau akan dapat menemukan celah-celah dari penjagaan itu, seperti ternyata pada malam ini.”

“Ya paman,” sahut Panggiring, “Aku memang mengharap segera dapat menemui paman. Aku ingin segera mendengar penjelasan ibu dan Bramanti tentang permintaanku.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah paman telah sempat menyampaikannya.”

“Ya ngger. Aku sudah menyampaikan kepada mereka.”

“Lalu?”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Debar di dadanya terasa semakin tajam mengguncang-guncang jantungnya.

“Apakah jawab ibu dan Bramanti paman?”

Ki Tambi masih berdiam diri. Terasa tenggorokannya seperti tersumbat. Kalimat-kalimat yang sudah disusunnya sama sekali tidak mampu dilontarkannya lewat mulutnya.

Namun Ki Tambi itu terperanjat ketika ia mendengar Panggiring berkata, “Aku sudah menduga paman, bahwa ibu dan Bramanti tidak dapat menerima aku kembali. Bukankah begitu?”

“Dari mana kau tahu Panggiring?” bertanya Ki Tambi dengan serta merta.

“Aku hanya menduga paman. Tetapi agaknya demikianlah yang sebenarnya telah terjadi.”

“Tetapi, kau dapat tinggal dirumahku Panggiring. Aku mempunyai rumah meskipun tidak begitu baik dan besar. Tetapi cukup untuk menerima kau. Bukankah kau hanya seorang diri?” Ki Tambi terdiam sejenak, dan suaranya menjadi parau. “Atau, kau dapat mengambil halamanku secukupnya. Halamanku pun cukup luas. Kau dapat membuat sebuah pondok kecil di halaman rumahku. Pondok seperti kau inginkan, yang akan kau buat di halaman rumah Bramanti.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada yang dalam, “Terima kasih paman. Aku sangat berterima kasih kepada paman Tambi. Tetapi aku terpaksa tidak dapat menerimanya.”

“Kenapa?”

“Adalah kurang bijaksana bagiku, apabila aku tinggal di rumah orang lain, sedang di Kademangan yang sama keluargaku bertempat tinggal.”

“Tetapi, itu tidak apa Panggiring. Kau sudah mencoba menghubungi keluargamu. Tetapi keluargamu menolak.

“Penolakan ibu dan Bramanti itu wajar sekali paman. Aku sama sekali tidak bersakit hati. Aku memang anak yang sudah terbuang.”

“Ah,” Ki Tambi berdesis, “Tidak. Bukan begitu. Tinggallah di rumahku sehari dua hari.”

“Terima kasih paman.”

“Tetapi, kalau kau menolak tinggal bersamaku, kemana kau akan pergi?”

Panggiring tidak segera menjawab.

“Panggiring,” berkata Ki Tambi. “Sebenarnya penolakan ibumu itu ada juga alasannya. Ibumu ingin agar kau bertempat tinggal di tempat yang sama sekali tidak mengenal kau. Kau akan dapat hidup sewajarnya tanpa prasangka apapun seperti kau tinggal di Kademangan Candisari.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya.

Katanya, “Ibu memang benar.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia yakin akan kata-kata Panggiring itu. Namun kemudian Panggiring meneruskan, “Di Kademangan ini, yang setiap orang sudah mengenal aku di masa aku remaja, pasti akan selalu berprasangka, dan bahkan mencurigaiku,” Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ibu memang bijaksana. Terlalu bijaksana. Akulah yang bodoh, yang selama ini tidak pernah sempat membuka mata dan hati. Aku tidak pernah berbuat sesuatu untuk ibu dan keluargaku. Adalah sepantasnya bahwa aku tidak akan segera dapat diterimanya.”

Ki Tambi menggigit bibirnya menahan haru. Terngiang kata-kata Bramanti, bahwa kakaknya sama sekali belum pernah berbuat apapun untuk ibunya. Meskipun Panggiring tidak mendengar kata-kata itu diucapkan, namun ia telah menyatakan pengakuannya. Pengakuan yang jujur dan bersih.

“Tetapi itu tidak perlu kau lakukan Panggiring. Kau lebih baik tinggal bersamaku. Betapapun besarnya prasangka orang-orang disekitarmu, tetapi kalau kau berhasil membuktikan bahwa kau telah berubah, maka semuanya akan menjadi baik. Seperti juga sikap orang-orang Candisari terhadap Bramanti.”

Panggiring mengerutkan keningnya, “Bagaimana dengan Bramanti?”

“Semua orang berprasangka juga kepadanya. Orang menyangka bahwa ia akan membalas dendam atas kematian ayahnya. Tetapi pada suatu saat, orang-orang menaruh hormat kepadanya, karena ia dapat membuktikan bahwa ia tidak akan membalas dendam seperti yang disangka orang.

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Terima kasih paman. Terima kasih. Aku lebih condong untuk mendengar nasehat itu. Paman jangan takut bahwa aku akan kembali ke pesisir Utara, dan akan terjun ke dalam dunia yang kotor itu. Tidak paman. Aku sudah berjanji untuk melepaskan senjataku dan mencuci tanganku.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam.

“Namun meskipun demikian paman,” berkata Panggiring, “Apakah paman sudi menolongku sekali lagi?”

“Tentu, tentu Panggiring. Apakah yang kau perlukan?”

“Meskipun ibu dan Bramanti menolak aku tinggal bersama mereka, namun apakah mereka tidak berkeberatan apabila aku berkunjung meskipun hanya sekejap. Aku ingin bertemu dengan ibu dan melihat, betapa Bramanti sekarang, setelah ia menjadi seorang anak muda yang perkasa itu.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya.

“Kalau ibu dan Bramanti tidak berkeberatan, aku akan datang meskipun hanya sekejap. Tetapi kalau ibu dan Bramanti tidak dapat menerima aku, maka biarlah aku menitipkan bakti dan salamku kepada ibu dan Bramanti.”

“Aku akan menyampaikannya Panggiring,” jawab Ki Tambi, “Aku kira, mereka tidak akan berkeberatan apapun. Mereka pasti akan menerimamu.”

“Mudah-mudahan paman. Tetapi sebenarnyalah aku telah menjadi terlampau kotor bagi mereka. Bagi ibu dan bagi Bramanti.”

“Tidak, tentu tidak.”

“Paman terlampau baik kepadaku. Aku tidak akan melupakannya seumur hidupku paman.”

“Ah,” desah Ki Tambi, “Apa yang telah aku lakukan sama sekali tidak berarti dibanding dengan nyawaku yang telah kau selamatkan.”

Panggiring mengerutkan keningnya. “Namun paman telah melihat pula, alangkah kotornya duniaku saat itu.” Panggiring berhenti sejenak, lalu, “Nah, paman. Aku minta diri. Aku akan menemui paman besok malam. Aku mengharap bahwa meskipun untuk sekejap, aku dapat bertemu dengan ibu dan Bramanti.”

“Baiklah Panggiring, aku akan menyampaikannya. Besok aku dapat memberimu penjelasan.”

“Terima kasih paman. Aku minta diri, sebelum ada orang lain yang melihatku, berkeliaran di pematang sawah paman Tambi, supaya paman Tambi tidak menjadi ajang pertanyaan.”

“Baiklah. Hati-hatilah Panggiring.”

Panggiring mengangguk, kemudian melangkah sambil berdesis, “Selamat malam paman.”

Panggiring pun kemudian meninggalkan Ki Tambi yang kini berdiri termangu-mangu. Dipandanginya langkah anak muda itu. Langkah yang gontai. Sama sekali bukan langkah seorang yang berilmu demikian tinggi.

Ketika Panggiring telah hilang di dalam gelapnya malam, maka Ki Tambi meninggalkan sawahnya pula. Dengan kepala tunduk ia berjalan ke Kademangan. Di pojok desa ia bertemu dengan dua orang pengawal yang mendapat tugas untuk mengawasi keadaan, dan bahkan diregol jalan padukuhan ia bertemu dengan Temunggul dan Ki Jabagaya sendiri.

“Malam begini sepi,” desis Ki Jagabaya, “Apakah kau bertemu dengan bayangan hitam yang tinggi dan besar?”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian menggelengkan kepalanya, “Tidak Ki Jagabaya. Aku tidak bertemu dengan siapapun selain dua orang pengawal dipojok desa.”

Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Temunggul pun bertanya, “Sekarang Ki Tambi akan kemana?”

“Aku akan pergi ke Kademangan, siapakah yang ada disana?”

“Bramanti, dan beberapa anak-anak muda.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan menemui Bramanti.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesis, “Ki Tambi. Aku kira Ki Tambi adalah orang yang dekat dengan Bramanti.”

“Kenapa?”

“Tiga empat hari terakhir, anak muda itu kelihatannya agak lain dari kebiasaannya. Ia menjadi murung dan seakan-akan selalu dibayangi oleh kegelisahan.”

“He,” Ki Tambi mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya. Ternyata ia tidak melihat perubahan itu karena hatinya sendiri sedang gelisah. Beberapa malam ia tidak lama berada di Kademangan bersama-sama dengan Bramanti. Ia sendiri lebih sering berada di sawah menunggu Panggiring.

“Apakah kau tidak salah lihat Temunggul?” bertanya Ki Tambi.

“Tidak Ti Tambi. Bukan hanya aku saja yang merasakan kelainan sikap itu. Tetapi beberapa orang anak-anak yang lain.”

“Siapa?”

“Para pengawal.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan menemuinya dan bertanya kepadanya.”

“Silakan Ki Tambi, supaya kami tidak menjadi gelisah pula karenanya. Bramanti adalah anak muda yang paling mungkin kami harapkan untuk melindungi kami seisi Kademangan. Kalau ia kecewa karena sesuatu, maka kami pun akan menjadi kecewa pula.”

“Ya, ya. Aku akan bertanya langsung dan berterus terang kepadanya, supaya kami dapat membantunya.”

Ki Tambi pun kemudian meninggalkan Temunggul dan Ki Jagabaya, dan berjalan dengan tergesa-gesa ke Kademangan. Namun langkahnya kemudian melambat, ketika ia bertanya pada diri sendiri. “Kenapa aku tergesa-gesa? Bukankah aku tidak akan bertanya kepada Bramanti, kenapa ia menjadi murung?”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Dan langkahnya pun kemudian tidak lagi seperti diburu oleh waktu.

Di regol itu Temunggul memandang langkah Ki Tambi sampai hilang dibalik kegelapan. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ki Tambi akhir-akhir ini kelihatannya juga menjadi gelisah.”

Ki Jagabaya mengangguk, “Ya. Aku juga melihat.”

“Kita tidak tahu, apakah yang telah menggelisahkannya. Tetapi seandainya mereka telah mendengar bahwa Panembahan Sekar Jagat sendiri akan datang, kita wajib bersiap-siap.”

“Tetapi mereka pasti akan mengatakannya kepada kita.”

“Mungkin Bramanti menjaga agar kita tidak menjadi gelisah pula karenanya.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menggeram, “Persetan. Mari kita berjalan terus. Kalau-kalau kita bertemu dengan orang yang tinggi besar itu.”

Temunggul tidak menjawab. Diikutinya saja langkah Ki Jagabaya menyusur jalan dipinggir padukuhan.

Sementara itu Bramanti duduk termenung di tangga Kademangan. Beberapa anak-anak muda yang sedang berada di Kademangan itu telah tertidur. Satu dua di antara mereka yang bertugas duduk terkantuk-kantuk di gardu di samping regol.

Ketika angin malam yang dingin menyentuh wajah Bramanti, terasa kesegaran udara seakan-akan merasuk sampai ke tulang. Perlahan-lahan Bramanti berdiri sambil menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia berjalan, kemudian berhenti menatap bintang-bintang yang bertaburan dilangit.

Namun hatinya yang gelisah masih saja menyentuh-nyentuh perasaannya. Ia tidak dapat melupakan kehadiran Panggiring di Kademangan ini. Dan ia tidak yakin bahwa Panggiring akan dengan senang hati menerima penolakannya meskipun Ki Tambi akan mengatakan kepadanya, bahwa ibunyalah yang berkeberatan akan kehadirannya.

Kegelisahan, kepepatan hati itu disimpannya rapat-rapat di dalam dadanya. Namun semakin lama terasa menjadi semakin berat. Tidak ada seorang pun yang dapat dibawanya berbincang. Ki Tambi pun tidak, karena jelas baginya, bahwa kali ini ia berbeda pendirian.

Bramanti mengerutkan keningnya ketika ia melihat Panjang memasuki halaman Kademangan sambil berselimut kain panjangnya. Tampak di lambungnya tangkai pedang mencuat dari kain selimutnya itu.

“Kau belum tidur Bramanti?” bertanya Panjang.

“Darimana kau tahu?” bertanya Bramanti.

“Dari parit disebelah. Aku kantuk sekali. Untuk menghilangkannya aku berjalan dan kemudian mencuci muka. Tetapi dinginnya bukan main.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba dorongan dari dalam dadanya tidak dapat ditahankannya lagi. Masalah Panggiring serasa telah penuh padat tertimbun di dalam dirinya, sehingga anak muda itu memerlukan tempat untuk meluapkan perasaannya itu. Dengan demikian ia akan merasa bahwa bebannya agak menjadi berkurang.

Selain Ki Tambi, Panjang adalah kawannya yang terdekat pula. Karena itu, tanpa dapat melawan dorongan perasaan sendiri, Bramanti yang betapapun kuat dan tangguhnya, namun ia adalah seorang anak yang masih muda, berkata perlahan-lahan, “Kemarilah Panjang.”

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya Bramanti telah mendahuluinya melangkah ke pojok pendapa dan duduk memeluk lututnya.

Panjang pun kemudian duduk pula disampingnya. Ia melihat keragu-raguan yang membayang diwajah Bramanti. Meskipun demikian ia tidak mendahului bertanya kepadanya. Dibiarkannya Bramanti merenung sejenak.

Akhirnya Bramanti pun berkata, “Panjang, ada sesuatu yang akan aku katakan kepadamu.”

Panjang menjadi semakin bertanya-tanya di dalam hatinya, meskipun ia masih tetap berdiam diri.

“Tetapi kau harus berjanji.”

Panjang menjadi semakin heran, “Janji untuk apa?” ia bertanya.

“Aku akan mengatakan sesuatu, tetapi kau harus berjanji bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

Panjang berpikir sejenak. Kepalanya terangguk-angguk. Dan dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Apakah yang akan kau katakan?”

“Berjanjilah bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

Kepala Panjang terangguk kecil, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya.”

Begitu pepatnya dada Bramanti sehingga seperti bendungan yang terbuka langsung terloncat dari mulutnya, “Panggiring sekarang telah berada disini.”

“He,” Panjang pun terkejut bukan buatan sehingga ia bergeser maju, “Panggiring?”

“Jangan keras-keras,” potong Bramanti. “Ia sudah berada di sekitar Kademangan ini.”

“Apakah maksudnya?”

“Ia ingin pulang ke kampung halaman,” Bramanti berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kami tidak akan dapat menerimanya kembali.”

Panjang tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Kemudian didengarnya Bramanti berceritera tentang Panggiring. Tetapi tidak seluruhnya. Sebagian dari keterangan Ki Tambi tidak diucapkannya. Ia ingin seseorang membenarkan pendiriannya, menolak kedatangan kakaknya. Meskipun kadang-kadang ia menjadi berdebar-debar apabila ia menyadari bahwa ia telah berlaku tidak jujur.

Tetapi apakah yang dikatakan kakang Panggiring itu juga benar seluruhnya?” katanya di dalam hati. “Mungkin ia hanya sekadar mengarang sebuah ceritera untuk mendapatkan belas kasihan. Atau lebih jahat lagi apabila ia hanya sekadar suatu siasat untuk mengelabuhi kami di Kademangan ini. Kemudian ia memanggil anak buahnya dan menyembunyikannya di dalam rumah yang akan dibuatnya. Di halaman rumahku pula.”

Panjang mendengarkan ceritera Bramanti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Bahkan kemudian ia berkata, “Aku sependapat dengan kau Bramanti. Kau memang harus menolak kehadirannya. Ia akan dapat berbuat apa saja di dalam Kademangan ini.”

“Itulah sebabnya, aku tidak menerimanya.”

“Tetapi,” tiba-tiba Panjang berkerut, “Apabila ia menjadi marah, apakah ia tidak akan menyerang Kademangan ini bersama anak buahnya.”

“Kami telah siap menerimanya,” jawab Bramanti, “Terharap Panembahan Sekar Jagat kami tidak takut, apalagi terhadap Panggiring yang belum diketahui, apakah benar-benar ia seorang yang pilih tanding.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba keningnya berkerut-merut. Bisiknya, “He, Bramanti. Apakah kau tidak berpikir atau menduga, bahwa mungkin sekali orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat itu adalah Panggiring?”

Wajah Bramanti menegang. Tetapi ia menjawab, “Tetapi bukankah Panggiring pernah mencoba mencegah pemerasan Panembahan Sekar Jagat, meskipun mungkin karena pamrih untuk menggantikan kedudukan Panembahan Sekar Jagat di daerah ini. Tetapi ketika ternyata Panembahan Sekar Jagat tidak menarik dirinya, Panggiring tidak berani berbuat apa-apa dengan seribu macam alasan.”

“Dapat saja ia membuat ceritera semacam itu. Tetapi Panembahan itu sendiri adalah Panggiring.”

Bramanti mengerutkan keningnya.

“Karena kegagalan orang-orangnya di Kademangan ini, setelah kau berterus terang melawannya dan membunuh Sapu Angin, maka Panggiring akan mempergunakan cara yang lain.”

Bramanti tidak segera menjawab. Dugaan itu memang masuk akal. Tetapi bukankah menurut Ki Tambi, Panggiring telah meletakkan senjatanya? Atau Ki Tambi sangat terpengaruh oleh kebaikan hati Panggiring yang menurut Ki Tambi sendiri pernah menyelamatkan nyawanya, bahkan membekalinya dengan lencana bergambar sebuah candi?

Keduanya sejenak saling berdiam diri. Mereka sedang mereka-reka di dalam angan-angan. Bahkan Bramanti sedang mencoba menghubungkan ceritera Ki Tambi dengan dugaan Panjang tentang Panggiring.

“Persetan,” ia menggeram di dalam dirinya, “Siapa pun Panggiring, aku pasti akan tetap menolaknya. Tanahku tidak akan aku berikan kepada seseorang yang telah menjadi sumber bencana bagi keluarga dan bahkan bagi Kademangan yang sedang dibina ini. Seandainya orang lain sekalipun, tetapi orang itu tidak sekotor kakang Panggiring aku sama sekali tidak akan berkeberatan.”

Namun sekilas terbayang wajah Ratri yang bertanya kepadanya, dengan sepenuh harapan, “Bramanti, kapankah Panggiring akan pulang?”

“Tidak. Tidak,” serasa hatinya berteriak, “Ia tidak akan pulang. Biarlah ia menjadi seperti selembar daun kering yang diterbangkan angin. Hidupnya memang tidak akan berguna lagi bagi seisi Kademangan Candisari. Bahkan bagi siapapun.”

Bramanti berpaling ketika ia mendengar Panjang bertanya, “Bagaimana pendapatmu Bramanti?”

“Kemungkinan ia memang ada. Tetapi aku belum berpendapat sejauh itu.”

“Tetapi kau harus tetap berhati-hati Bramanti.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun pembicaraan itu pun segera terputus ketika mereka melihat Ki Tambi memasuki regol halaman. Langkahnya satu-satu di atas tanah yang dibasahi oleh titik embun.

“Jangan kau tanyakan kepada paman Tambi,” desis Bramanti, “Dan ingat, jangan kau katakan kepada siapapun juga.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Ketika Ki Tambi sampai di tangga pendapa, maka Bramanti pun menyapanya dengan kaku, “Selamat malam paman.”

Ki Tambi tersenyum. Jawabnya, “Kau Bramanti. Apakah kau tidak pergi berkeliling?”

“Temunggul dan Ki Jagabaya telah melakukannya.”

“Ya, aku bertemu dengan mereka dipinggir desa.”

“Apakah paman baru datang dari sawah?”

“Ya,” jawab Ki Tambi pendek. Namun ia segera menangkap pertanyaan yang membayang di wajah Bramanti, “Agaknya paman Tambi telah bertemu lagi dengan kakang Panggiring,” tetapi pertanyaan itu tidak pernah diucapkannya.

Maka Ki Tambi pun kemudian duduk pula bersama Bramanti dan Panjang. Tetapi pembicaraan mereka terasa agak lain dari masa-masa sebelumnya. Ki Tambi tidak banyak lagi berceritera, dan Panjang tidak lagi banyak bertanya. Sedang Bramanti pun kemudian menguap beberapa kali.

“Tidurlah Bramanti,” berkata Ki Tambi. “Kau perlu beristirahat. Akhir-akhir ini kau terlampau banyak bangun di malam hari.”

“Ya paman,” jawab Bramanti pendek. Namun ia pergi juga bersama Panjang ke gardu di samping regol. Kepada para peronda ia berkata, “Kami akan beristirahat. Bangunkan kalau kalian memerlukan.”

Peronda itu mengangguk, “Baik,” jawab salah seorang dari mereka.

Bramanti dan Panjang pun kemudian membaringkan diri mereka di atas tikar sehelai di pendapa Kademangan. Namun ternyata mereka tidak dapat segera tertidur, karena berbagai macam bayangan yang mengganggu angan-anggan mereka.

Ki Tambi sendiripun kemudian pergi pula kegardu di samping regol. Diletakkannya dirinya disudut gardu bersandar dinding sambil berselimut kain panjangnya. Tetapi orang tua itu pun tidak juga dapat tidur.

Ketika Temunggul dan Ki Jagabaya datang, Ki Tambi pun segera bangkit menyongsong mereka.

“Apakah kau sudah bertanya?” bertanya Ki Jagabaya.

Ki Tambi menggeleng, “Belum.”

“Kenapa?”

“Anak itu baru tidur.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama Temunggul dan Ki Tambi mereka pergi naik ke pendapa. Sekilas mereka melihat di antara anak-anak muda yang terbaring, Bramanti dan Panjang. Namun mereka tidak mengetahui, bahwa meskipun mata mereka terpejam, tetapi mereka tidak sedang tidur.

Sejenak Ki Tambi, Ki Jagabaya dan Temunggul bercakap-cakap, ketika mereka kemudian mendengar ayam jantan berkokok. Warna semburat merah segera membayang di dedaunan, pada titik-titik embun yang bergayutan di dahan-dahan.

“Fajar,” desis Ki Tambi, “Aku akan pulang. Beberapa malam aku tidak berada di rumah sama sekali.”

“Kenapa?” bertanya Ki Jagabaya.

“Aku berada disini.”

“Kau datang terlampau malam beberap hari ini. Tidak seperti waktu-waktu sebelumnya.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. “Aku menunggui tanaman di sawah.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Temunggul. Namun mereka tidak berbicara apapun.

Namun kilasan pandangan mata itu telah memberikan kesan kepada Ki Tambi yang mempunyai perasaan yang cukup tajam. Sehingga ia mengambil kesimpulan, “Mereka melihat sesuatu yang lain dari pada diriku. Bukan sekadar pada Bramanti, meskipun mereka mengharap akulah yang akan berbicara kepada anak muda itu.”

Tetapi Ki Tambi tidak berkata apapun. Ia pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan dengan gelisah di dalam dada.

Sejenak kemudian langit pun menjadi semakin terang. Satu-satu anak-anak muda yang tertidur di pendapa itu pun terbangun. Dan satu-satu mereka meninggalkan halaman, pulang ke rumah masing-masing. Bramanti yang tidak dapat tidur sekejap pun segera bangkit pula. Tetapi ketika ternyata Panjang akhirnya tertidur nyenyak, anak itu tidak dibangunkannya. Dibiarkannya Panjang berbaring di pendapa.

“Apakah kau dapat tidur?” bertanya Temunggul.

Bramanti menggelengkan kepalanya, “Kau?”

Temunggul pun menggeleng sambil tersenyum. “Aku pun tidak. Tetapi agaknya Panjang tidur dengan nyenyaknya.”

“Panjang pun belum lama tertidur,” jawab Bramanti.

“Biarlah ia tidur. Aku akan menungguinya,” berkata Temunggul.

“Anak itu tidak akan dimakan hantu.”

Temunggul tertawa dan Bramanti pun tersenyum juga. Namun Bramanti itu pun kemudian minta diri mendahului pulang.

Seperti biasanya Temunggul selalu mengumpat-umpat karena anak muda dan Ki Jagabaya yang semalaman berada di pendapa segera pulang, sedang anak-anak yang harus berjaga-jaga di siang hari masih belum datang. Tetapi kali ini ia masih mempunyai seorang kawan meskipun masih tidur. Panjang. Dan Temunggul sengaja tidak membangunkannya.

Namun akhirnya Temunggul melihat Panjang itu menggeliat sambil berdesah. Kemudian membuka matanya.

“O,” dengan serta merta ia bangkit, “Sudah siang.”

“Belum,” jawab Temunggul, “Masih terlalu pagi untuk bangun.”

Panjang pun kemudian bangkit dan duduk bersila sambil mengusap-usap matanya. Ia sudah tidak melihat seorang pun lagi di pendapa selain Temunggul. Tikar-tikar yang dibentangkan di pendapapun telah digulung seluruhnya. Bahkan halaman Kademangan telah sepi.

“Semuanya sudah pulang?”

“Ya,” jawab Temunggul. “Aku pun hampir saja pulang meninggalkan kau disini.”

Panjang menguap, “Bramanti?”

“Ia telah pulang pula.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Temunggul yang lelah. Sebuah kesan yang lain tersirat di wajah itu.

“He, Panjang,” berkata Temunggul tiba-tiba, “Apakah kau melihat sesuatu yang lain dari pada diri Bramanti?”

“Kenapa?” bertanya Panjang pula.

“Aku melihat kegelisahan yang selama ini membayanginya.”

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Apakah ia tidak pernah mengatakan sesuatu kepadamu?”

“Panjang menarik nafas dalam-dalam.

“Aku mencemaskannya. Mungkin ia menahan sesuatu. Mungkin tentang Panembahan Sekar Jagat. Supaya kami tidak menjadi gelisah, ia tidak memberitahukan apapun kepada kami. Atau tentang yang lain lagi.”

Panjang menggeser dirinya. Dipandanginya seluruh halaman dengan tajamnya, seolah-olah ia sedang mencari seseorang yang sedang bersembunyi di balik pepohonan atau di belakang gardu.

“Tidak ada orang.”

Panjang menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi jangan mengatakannya kepada orang lain. Kau janji?”

“Tentang apa?”

“Bramanti.”

Temunggul terdiam sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku berjanji.”

“Hanya akulah yang diberitahu. Dan ia pun berpesan untuk tidak memberitahukannya kepada orang lain.”

Temunggul menjadi semakin ingin tahu karenanya. Dengan demikian ia segera menjawab, “Baik, baik. Aku berjanji.”

Panjang bergeser semakin dekat. Sambil berbisik ia berkata, “Bramanti memang sedang resah.”

“Kenapa?” bertanya Temunggul.

“Ternyata Panggiring kini berada di sekitar Kademangan ini.”

“He?” Temunggul pun menjadi terbelalak.

“Panggiring yang ingin pulang ke rumah ibunya, dan minta kepada Bramanti sepotong tanah untuk membuat rumah tempat tinggal.”

“Bukankah ia seorang perampok di pesisir Utara?”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Itulah keberatan Bramanti. Selama ini ia selalu mencoba memberantas kejahatan yang dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat. Sudah tentu ia tidak akan dapat menyimpan seorang penjahat dirumahnya.”

“Tentu. Kademangan ini pun tidak.”

“Bramanti memang menolak. Bahkan aku bertanya kepadanya, apakah tidak mungkin, bahwa orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat itu Panggiring sendiri, atau orang yang dipasangnya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Sementara itu Panjang telah berceritera tentang Panggiring. Tidak saja seperti yang diceriterakan Bramanti, tetapi ia sendiri telah ikut berceritera menurut seleranya sendiri.

“Kita harus membantunya,” desis Temunggul.

“Tentu,” jawab Panjang.

Namun tiba-tiba Temunggul mengerutkan keningnya. Terbayang di dalam angan-angannya Panggiring dan Bramanti yang berhadapan sebagai lawan. Sebagai laki-laki yang memiliki kelebihan masing-masing. Meskipun mereka bersaudara seibu, namun agaknya ada jurang yang telah menganga di antara mereka.

“Siapakah yang lebih unggul di antara mereka?” pertanyaan itu menggelepar di dalam hatinya, kemudian, “Kalau saja Bramanti binasa oleh Panggiring, maka Ratri akan terbebas daripadanya,” Namun kemudian, “Tetapi bagaimana kalau Panggiring yang binasa?”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Untuk kali ini, kita memang harus membantu Bramanti.”

Tetapi Temunggul itu terkejut ketika ia mendengar Panjang bertanya, “Kenapa untuk kali ini?”

“Oh, tidak,” Temunggul tergagap. “Maksudku kita harus membantu Bramanti apabila timbul benturan di antara mereka. Apalagi apabila ternyata bahwa Panggiringlah yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ditatapnya halaman yang telah menjadi semakin terang. Sinar matahari pagi telah mulai membayang didedaunan.

“Aku akan pulang. Sebentar lagi anak-anak yang seharusnya bertugas akan segera datang.”

“Kawani aku sambil menunggu anak-anak itu.”

Panjang berpikir sejenak. Tetapi jawabnya, “Maaf, kali ini aku tidak dapat. Mungkin lain kali. Aku mempunyai kepentingan di rumah.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apaboleh buat. Tetapi aku akan segera membuat peraturan baru, sehingga tidak setiap pagi aku terkungkung disini.”

Panjang tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum sambil menggeliat. Katanya, “Tetapi ingat, jangan kau katakan kepada orang lain. Sementara kita melihat perkembangan keadaan Bramanti. Mungkin ia memerlukan pertolongan.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah.”

Sepeninggalan Panjang, Temunggul duduk seorang diri di tangga Pendapa Kademangan sambil bertopang dagu. Angan-angannya membumbung menggapai kedunia yang riuh. Bayangan yang bercampur baur saling melintas. Ratri, Bramanti, Panembahan Sekar Jagat, Ki Demang Candisari dan yang terakhir yang baru saja didengarnya adalah tentang Panggiring.

Temunggul mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk memusatkan perhatiannya kepada anak muda ini. Ia pernah mengenalnya semasa kanak-kanak. Panggiring agak lebih tua daripadanya. Bukan seorang periang, tetapi bukan pula seorang anak yang nakal.

“Apakah anak itu pernah aku kenal jugalah yang menjadi seorang perampok yang ganas di pesisir Utara?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

Tetapi Temunggul itu tidak sempat berangan-angan terus. Sebuah derit pintu dibelakangnya telah mengejutkannya. Dan ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Demang menjengukkan kepalanya.

Tiba-tiba sesuatu bergetar di dalam dada Temunggul. Ki Demang itu kini terasa sangat asing baginya. Dan bahkan disaat-saat terakhir orang ini seakan-akan sudah dilupakan. Kademangan Candisari seakan-akan sudah tidak mempunyai Demang lagi. Semuanya berjalan dengan sendirinya. yang memegang peranan di dalam pemerintahan sehari-hari adalah Ki Jagabaya, Bramanti, Ki Tambi dan dirinya sendiri.

Bulu-bulu tengkuk Temunggul meremang ketika ia mendengar Ki Demang itu tertawa pendek sambil bertanya, “Kau sendiri Temunggul?”

Sama sekali diluar sadarnya, apabila kemudian ia berdiri dan tangannya meraba hulu pedang dibawah kain panjang yang diselimutkan ditubuhnya karena dinginnya udara pagi.

“He? Apakah kau sendiri?”

Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Debar jantung Temunggul serasa semakin cepat berdenyut. Dengan tegangnya dipandanginya Ki Demang yang kemudian melangkahkan kakinya keluar dari pintu rumahnya.

“Duduklah, duduklah.”

Temunggul masih juga mematung.

“Kenapa kau diam saja? He, kenapa kau memandang aku seperti belum pernah melihatnya?”

Temunggul tergagap. Tetapi ia harus menjawab, “Bukan begitu Ki Demang. Tetapi aku menjadi heran, kenapa Ki Demang semakin tidak pernah kelihatan, justru keadaan Kademangan ini menjadi semakin hangat.”

Dan tengkuk Temunggul menjadi semakin meremang oleh suara tertawa Ki Demang yang menjadi semakin berkepanjangan.

Ketika Ki Demang maju mendekatinya, Temunggul surut selangkah.

“He, kenapa kau menjadi takut seperti melihat hantu?” bertanya Ki Demang. “Duduklah. Aku ingin berbicara dengan kau. Jangan takut. Aku tidak akan menyalahkanmu karena kau masih juga belum berhasil. Bramanti memang seorang yang luar biasa. Apalagi kau terlampau sulit untuk mendapatkan kesempatan berdua saja dengan anak muda itu.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

“Nah duduklah. Kau akan mendengar semuanya, kenapa aku menjadi semakin jauh dari orang-orang Kademangan Candisari yang kebetulan sekarang sedang berpengaruh.”

Temunggul mengerutkan keningnya.

“Kemarilah. Jangan cemas. Kau tidak termasuk di antaranya, apabila kau menempati janjimu.”

Temunggul tidak segera menjawab. Ia masih berdiri saja seakan-akan membeku ditempatnya.

“He, kenapa kau Temunggul? Kemarilah, duduklah. Kau tidak sedang berhadapan sesosok hantu.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ditatapnya wajah Ki Demang. Masih juga Ki Demang yang dahulu. Meskipun demikian ia tidak berhasil mengusir keasingan yang mencengkeramnya.

Namun tiba-tiba Temunggul menyadarinya. Sebagai pimpinan pengawal, maka ia tidak dapat melepaskan setiap perasaan yang aneh seperti yang kini sedang bergolak di dalam dadanya. Bahkan ia pernah berniat untuk mengetahui, apakah maksud Ki Demang yang sebenarnya dengan usuhanya untuk menyingkirkan Bramanti.

Karena itu, maka dimantapkannya niatnya. Ia harus menemukan jawaban, apakah sebenarnya maksud Ki Demang itu.

Perlahan-lahan Temunggul melangkah maju. Ketika ia berada di depan tangga, maka Ki Demang pun melangkah turun. Ditepuknya bahu anak muda itu sambil berkata, “Duduklah.”

Temunggul pun kemudian duduk di samping Ki Demang. Namun sekali-kali ia masih merasa aneh atas sikapnya. Sambil tersenyum-senyum Ki Demang itu pun kemudian berkata, “Aku tahu kesulitanmu Temunggul.”

Temunggul tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk.

“Tetapi itu bukan berarti bahwa kau harus membatalkan niatmu. Kau harus yakin, bahwa jika kau berhasil, seluruh Kademangan ini akan berterima kasih kepadamu.”

Temunggul masih belum menjawab.

“Temunggul,” berkata Ki Demang, “Tindakan yang akan kau lakukan itu memang tidak dibatasi oleh waktu. Kau harus mendapat kesempatan untuk melakukannya. Tetapi meskipun demikian tidak berarti bahwa hal itu dapat berlarut-larut berkepanjangan. Sadarilah, bahwa pada suatu saat Panembahan Sekar Jagat akan kehilangan kesabaran.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah kau dapat mengerti?”

Temunggul mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi kepentinganku sama sekali tidak terbatas oleh waktu itu Ki Demang. Ratri tidak akan pergi dari Kademangan ini. Dengan demikian aku dapat menunggu kapan saja kesempatan itu akan datang.”

“Kau memang bodoh.”

“Aku tidak mau gagal. Kalau sekali aku gagal, maka leherku akan menjadi taruhan.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Tetapi seperti yang sudah aku katakan. Persoalan itu bersangkut paut dengan matinya seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat yang bernama Sapu Angin. Kau tahu. Semakin cepat Bramanti tersingkirkan akan menjadi semakin baik, “Ki Demang menelan ludahnya, lalu, “He, Temunggul. Apakah kau benar-benar dapat aku percaya?”

“Kenapa?”

“Bahwa kau benar-benar berani menyingkirkan Bramanti.”

“Ada atau tidak ada orang yang mempercayai aku, itu adalah persoalan pokok bagiku. Tanpa orang lain, aku akan melakukannya.”

“Bagus. Bagus. Aku memang lebih baik berterus terang kepadamu.”

Temunggul mengerutkan keningnya.

“Tetapi ingat. Setiap usaha mengkhianatinya, maka akan berhadapan dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Temunggul masih tetap berdiam diri.

“Temunggul,” berkata Ki Demang itu perlahan-lahan hampir berbisik. Sekali-kali dipandanginya regol halaman kalau ada seorang yang memasukinya, “Aku akan berterus terang. Panembahan Sekar Jagat akan segera datang. Segera. Untuk meyakinkan bahwa kehadirannya di Kademangan ini tidak akan menemui rintangan yang berarti, maka Bramanti harus disingkirkan lebih dahulu dengan caramu itu. Lebih daripada itu, Panembahan Sekar Jagat akan sangat berterimakasih kepadamu, dan kau akan mendapat tempat yang baik sekali di Kademangan ini kelak. Sudah tentu Panembahan Sekar Jagat akan menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya. Ki Tambi, Panjang dan bahkan Ki Jagabaya.”

Dada Temunggul berguncang mendengar keterangan Ki Demang itu. Kini sedikit banyak ia telah dapat membayangkan, apakah niat Ki Demang yang sebenarnya. Agaknya orang ini telah berhubungan dengan Panembahan Sekar Jagat yang menuntut kematian Bramanti sebagai ganti Sapu Angin. Namun lebih daripada itu, Temunggul jadi semakin curiga, bahwa selama ini Ki Demang selalu menakut-nakuti dan menghalang-halangi usaha perlawanan terhadap Panembahan Sekar Jagat itu.

“Agaknya Ki Demang mamang mempunyai hubungan sejak lama dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Namun Temunggul mencoba menahan gejolak di dalam dadanya, supaya tidak berkesan diwajahnya.

“Apakah kau sekarang menjadi jelas?” bertanya Ki Demang.

Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Dan Ki Demang itu berkata seterusnya, “Dan kau harus menyadari, bahwa tidak akan ada kekuatan yang dapat melawan Panembahan Sekar Jagat. Seandainya kau tidak berhasil sekalipun, Panembahan Sekar Jagat tidak akan mengurungkan niatnya. Bahkan kau sendiri akan dilibatkan pula dalam persoalan ini, karena terbukti kau ikut serta dalam pertempuran di halaman rumah Bramanti. Namun akulah yang berusaha dengan susah payah untuk menyisihkan kau. Selama ini kau adalah pembantuku yang paling baik.”

Temunggul masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi ingat pula akan waktu. Kalau kau mungkin melakukannya, lakukanlah hari ini.”

“Hari ini?” Temunggul terperanjat.

“Ya, hari ini. Carilah kesempatan. Kau dapat datang kerumahnya, atau dibendungan atau ditengah sawah atau dimana saja.”

“Kenapa hari ini?”

Ki Demang menarik nafas. Jawabnya, “Begitu pesannya.”

Dada Temunggul menjadi semakin terguncang-guncang. Namun untuk menyembunyikannya ia menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan usahaku berhasil.”

Ki Demang menepuk pundak Temunggul, “Tentu. Kau tentu berhasil. Aku percaya kepadamu.”

Temunggul mengangguk-angguk.

“Sayang, sebenarnya aku masih akan berbicara agak panjang. Tetapi itu, seorang pengawal telah datang. Bagiku lebih baik untuk sementara mengasingkan diri sampai pada saatnya aku akan bekerja bersama dengan orang-orang yang dapat mempergunakan otaknya.”

“Baiklah Ki Demang, aku pun akan segera minta diri setelah ada orang lain yang menggantikanku disini.”

“Hati-hatilah,” desis Ki Demang sambil berdiri dan melangkah menyeberangi pendapa, masuk ke pringgitan.

Temunggul kemudian berdiri termangu-mangu. Yang di dengarnya itu adalah sebuah berita yang sangat berharga baginya. Ia dapat memanfaatkannya dari dua segi. Melanjutkan pesan Ki Demang, dengan harapan-harapan yang dapat diberikan oleh Panembahan Sekar Jagat kepadanya, atau berdiri teguh di atas keyakinannya selama ini.

Wajah Ratri yang kadang-kadang membayang memang dapat mempengaruhinya. Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “Bramanti harus segera mengetahui masalah ini.”

Ketika seorang lagi telah datang, maka Temunggul pun kemudian minta diri kepada kedua orang pengawal yang akan menggantikan tugasnya, berjaga-jaga di gardu Kademangan.

Bersambung…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar