Tanah Warisan 9

Tanah Warisan 9


Lanjutan dari jilid 8

Namun anak-anak muda dan para pengawal yang berbondong-bondong pergi mengikuti Bramanti itu tidak berani terlampau mendekat. Mereka merasa bahwa hal itu mungkin tidak menyenangkan Bramanti yang sedang menghadapi persoalan keluarga.


Mungkin persoalan keluarga ini tidak sewajarnya menjadi persoalan orang diluar lingkungan mereka.

“Tetapi bagaimana kalau yang menyebut dirinya Panggiring itu juga Panembahan Sekar Jagat, dan Bramanti terjebak karenanya? Sehingga dengan demikian, maka kekuatan pokok dari Kademangan ini akan lebih dahulu diruntuhkannya.”

“Kita harus melihat?” Temunggul pun ternyata ikut pula di dalam iring-iringan itu. Panjang, Suwela, bahkan kemudian Ki Jagabaya yang mendengar juga tentang kehadiran Panggiring itu.

Bukan saja anak-anak muda, tetapi orang-orang tua yang mendengar pun telah tertarik pula untuk pergi ke pinggir desa, melihat apa yang akan terjadi.

Bahkan mereka yang sedang terbangun dari tidur, dan mendengar hiruk pikuk di sepanjang jalan, segera menyambar senjata-senjata mereka dan menghambur keluar.

“Ada apa?” salah seorang yang menjengukkan kepalanya dari dalam regol halaman bertanya kepada dua orang yang berlari-lari di jalan kecil di depan regol itu.

“Panggiring.”

“Kenapa dengan Panggiring?”

Dan ternyata Ratri tidak dapat melawan dorongan itu. Meskipun debar jantungnya menjadi kian cepat, namun ia berjalan juga melintasi halaman rumahnya. Ia terhenti di regol ketiga ia melihat dua orang itu agaknya ingin juga pergi ke sawah untuk melihat apa yang bakal terjadi.

“Aku akan mengikuti mereka,” desis Ratri di dalam hatinya.

Tanpa setahu kedua orang itu, Ratri berjalan berloncat-loncat beberapa langkah di belakang mereka.

Dalam pada itu Ki Tambi masih berdiri tegak seperti patung. Nyai Pruwita serasa tidak akan pernah melepaskan kepala anaknya yang telah dianggapnya hilang itu.

“Sama sekali bukan maksud kami menolak kedatanganmu Panggiring,” desis ibunya disela-sela isaknya.

“Aku mengerti ibu,” jawab Panggiring, “Aku memang sudah tidak pantas lagi berada di dalam lingkungan keluarga.”

“Tidak, tidak Panggiring, bukan itu,” cepat-cepat ibunya memotong.

“Sudahlah ibu,” berkata Panggiring sareh. Perlahan-lahan diangkatnya tangan ibunya, “Ibu jangan menangis lagi. Aku dapat mengerti semuanya. Dan aku sama sekali tidak bersakit hati.”

Ibunya terdiam sejenak. Dipandanginya wajah anaknya dalam keremangan malam ketika Panggiring kemudian berdiri. Berkata anak muda itu kemudian, “Aku sudah merasa sangat berbahagia dapat menyampaikan baktiku kepada ibu. Salamku kepada Bramanti, semoga ia mampu melakukan tugasnya dengan baik.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Lalu kau akan pergi kemana Panggiring?” bertanya ibunya.

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku akan mencari daerah baru ibu, seperti yang ibu katakan beberapa hari yang lalu. Daerah yang sama sekali belum mengenal Panggiring. Mudah-mudahan aku dapat hidup tentram. Hidup tanpa kegelisahan dan tanpa diburu oleh angan-angan mimpi buruk.”

“Berbahagilah anakku. Mudah-mudahan kau berhasil,” perempuan itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kau jangan lupa kepada ibumu.”

“Tentu ibu. Aku tidak akan lupa kepada ibu, kepada Bramanti dan kepada kampung halaman. Disini aku dilahirkan. Maka ikatan antara tanah ini dengan hati di dalam dadaku tidak akan pernah terurai.”

Titik-titik air mata perempuan itu masih deras mengalir dari kedua matanya yang cekung.

Namun perempuan tua itu tertegun sejenak, ketika ia melihat Panggiring mengangkat kepalanya. Bahkan Ki Tambi pun mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Panggiring, apakah kau mendengar sesuatu disekitar tempat ini?”

Panggiring mengangkat alisnya. Ia memang mendengar suara. Berbeda dengan suara yang tadi didengarnya. Tarikan nafas ibunya memberi tahukan kepadanya, bahwa orang yang ada didekatnya sama sekali tidak berbahaya baginya.

Tetapi telinga Panggiring yang terlatih baik itu dapat membedakan. Kali ini ia memahami benar, bahwa suara nafas yang didengarnya adalah nafas yang terkendali. Hampir tidak dapat didengarnya.

Panggiring terdiam sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak paman. Tidak ada apa-apa.”

Tetapi Ki Tambi menjadi curiga karenanya. Sikap Panggiring menjadi agak berubah. Dan sejenak kemudian Panggiring itu berkata, “Pertemuan kita tidak akan dapat berlangsung terlampau lama ibu. Aku akan segera minta diri.”

Ibunya menyadari keadaan anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya dan menjawab, “Baiklah Panggiring. Setiap saat hubungi aku. Aku ingin mengetahui, meskipun hanya sekadar kabar, tentang kau.”

“Ya, ibu. Aku akan melakukannya,” jawab Panggiring, kemudian, “Sudahlah ibu, aku minta diri. Aku berterima kasih atas kesediaan ibu datang ke tempat ini menemui aku,” lalu kepada Ki Tambi, “Paman telah memberikan kesempatan yang luar biasa kepadaku. Terima kasih paman.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Maafkan aku Panggiring.”

Panggiring tersenyum, “Kenapa paman minta maaf kepadaku?”

“Aku akan selalu menyediakan diri apabila kau memerlukan sesuatu.”

“Aku akan memberitahukan kepada paman, apabila aku sudah menetap kelak.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi katanya tidak terucapkan.

Panggiring yang bertubuh tinggi kekar itu sekali lagi berjongkok dimuka ibunya sambil berkata lirih, “Doa ibu bagiku setiap saat.”

Titik air mata Nyai Pruwita semakin menderas. Sekali lagi ia meraih kepala itu sambil berkata, “Baik, baik Panggiring. Kau harus mengerti, kenapa kau tidak dapat aku terima di rumah itu. Kau adalah anakku yang sulung. Dengan demikian maka kau hendaknya dapat menerima keadaan ini dengan dada yang longgar.”

“Aku ikhlas ibu.”

Dekapan tangan perempuan tua itu menjadi semakin keras, seakan-akan tidak akan dilepaskannya kembali. Dibelainya rambut anaknya yang panjang tersembul dibawah ikat kepalanya.

Namun tiba-tiba suasana itu telah dirobek oleh sebuah suara, “Sebaiknya ibu berterus terang. Akulah yang berkeberatan.

Nyai Pruwita dan Ki Tambi terkejut bukan buatan, sehingga mereka serentak berpaling dalam kebingungan.

“Bramanti,” hampir bersamaan mereka berdesis.

Tetapi Panggiring sama sekali sudah tidak terkejut. Ia sadar, bahwa yang dapat mendekat kali ini bukan seorang perempuan dengan nafas terengah-engah. Tetapi kali ini yang datang adalah seorang yang mumpuni. Sejak semula Panggiring memang sudah menduga bahwa yang datang itu adalah Bramanti.

Perlahan-lahan Bramanti melangkah tanpa menghiraukan tanaman yang diinjaknya. Setapak demi setapak. Sedang Panggiring masih tetap saja membeku ditempatnya.

Namun ketika Bramanti menjadi semakin dekat, perlahan-lahan Panggiring berdiri menghadapnya.

“Bramanti,” berkata ibunya tergagap, “Aku hanya sekadar menemuinya. Aku hanya ingin melihat anakku.”

“Itu adalah hak ibu. Bukan saja menemui anaknya, tetapi menemui siapapun,” jawab Bramanti. “Tetapi aku minta ibu berterus terang, bahwa akulah yang berkeberatan. Aku dan seisi Kademangan ini. Selama ini kami telah berbuat sesuatu untuk Kademangan Candisari. Aku adalah salah seorang dari mereka yang mati-matian menentang Panembahan Sekar Jagat. Apakah kini aku akan mengundang seorang lagi dan bahkan langsung bertempat tinggal di halaman rumahku?”

Ibunya seakan-akan telah terbungkam. Betapa dadanya bergolak, tetapi mulutnya serasa tersumbat.

“Bramanti,” Ki Tambilah yang menjawab, “Semuanya telah didengar oleh Panggiring. Panggiring sudah mengakuinya bahwa dirinya memang telah ternoda. Tidak sepantasnya ia tinggal lagi bersama keluarganya,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Kalau kau sudah cukup lama menunggui pertemuan ini Bramanti, kau pasti sudah mendengar, bahwa Panggiring dengan ikhlas menerima keadaan dan kenyataan itu. Kau tidak perlu mengulanginya, karena sebenarnya persoalan ini sudah selesai.”

“Tidak. Belum selesai. Selama masih ada hubungan antara Candisari dengan kakang Panggiring, maka persoalan masih akan berkepanjangan.”

“Terlalu kau Bramanti. Hubungan manusia adalah wajar. Jangankan dengan seorang yang memang dilahirkan ditempat ini. Dengan siapapun kau tidak akan dapat menghalang-halangi.”

“Tetapi tidak dengan seorang yang tangannya berbau darah.”

“Bramanti,” Ki Tambilah yang berteriak. “Begitukah sambutanmu atas kedatangan kakakmu, saudaramu? Ingat, apakah yang kau alami pada saat kau menginjakkan kakimu di Kademangan ini. Setiap orang mencurigaimu. Setiap orang membencimu. Tetapi kau dapat diterima oleh ibumu, kau tahu itu. Dan ternyata kau tidak sejahat yang dikatakan tentang dirimu. Setiap orang telah dimabukkan oleh prasangka. Dan sekarang kau, kau juga telah dicengkeram oleh prasangka serupa itu.”

“Tetapi prasangkaku beralasan,” jawab Bramanti.

“Sudahlah paman,” suara Panggiring berat, “Aku memang sudah minta diri. Aku akan pergi,” kemudian kepada Bramanti. “Baiklah Bramanti. Aku akan pergi jauh sekali.”

“Apakah aku dapat mempercayaimu?”

“Aku berkata sesuai dengan detak dalam dadaku. Terserahlah kepadamu, apakah kau akan mempercayainya atau tidak.”

“Tidak seorang pun lagi yang dapat mempercayai kau.”

“Bramanti,” potong Ki Tambi.

“Aku dapat mengerti paman. Tetapi baiklah, aku akan minta diri.” Kemudian kepada ibunya, “Ibu, anggaplah, bahwa ibu tidak mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang seorang itu telah mati ditelan oleh kejahatan yang pernah dilakukannya sendiri. Agaknya Bramanti telah cukup bagi ibu.”

Nyai Pruwita yang berdiri mematung itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tangisnya menjadi semakin keras dan air matanya semakin banyak meleleh di sela-sela jari tangannya.

“Sudahlah ibu,” berkata Panggiring kemudian, “Semuanya akan menjadi baik kelak. Keluarga yang aku tinggalkan, Kademangan Candisari, dan seluruh isinya.”

“Panggiring,” isak perempuan tua itu.

“Aku minta diri.”

Ibunya tidak dapat segera menyahut. Tangisnya sajalah yang terdengar di antara isaknya.

Namun sejenak kemudian terdengar hiruk pikuk orang-orang Candisari yang menyusul Bramanti. Mereka berjalan disepanjang pematang, menebar di beberapa jalur.

Panggiring mengangkat wajahnya. Sesuatu bergetar di dalam dirinya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Tambi yang tegang, sekilas kemudian ibunya, lalu Bramanti.

“Jangan takut,” desis Bramanti. “Orang-orang Candisari bukan orang-orang yang curang. Meskipun sebagian dari mereka menyangka bahwa kau adalah orang yang sama dengan orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat, namun mereka tidak akan menjebakmu. Kalau kau ingin mendapat jalan untuk meninggalkan tempat ini, mereka pasti akan menyibak.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ya, aku mengenal mereka. Agaknya mereka tidak berubah sampai sekarang.”

“Karena itu saya persilakan kakang Panggiring segera meninggalkan tempat ini.”

“Bramanti,” suara ibunya seakan-akan meledak, “Apakah kau tidak dapat merubah putusanmu itu?”

“Tidak ibu. Aku tetap pada pendirianku.”

“Kau terlampau kikir Bramanti. Kenapa kau tidak dapat merelakan secuwil tanah itu?”

“Bukan itu soalnya ibu. Bukan secuwil tanah itu yang penting bagiku. Tetapi seluruh isi Kademangan mengenal siapa Panggiring.”

Ki Tambi menundukkan kepalanya. Ia adalah sumber berita itu. Kalau ia tidak menyebutnya, mungkin keadaan akan berbeda.

“Itu karena salahku Panggiring.”

“Paman tidak bersalah,” jawab Panggiring. “Baiklah, aku pergi. Selamat tinggal ibu, selamat tinggal Bramanti, paman Tambi dan semuanya. Salamku buat kawan-kawan sepermainan di masa kecil, buat semua orang di Candisari. Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihat Candisari. Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihatnya lagi,” Panggiring berhenti sejenak. Ditatapnya Kademangan Candisari dalam keremangan malam. Tidak ada yang dapat dilihatnya dengan jelas. Selain bayangan hitam seperti puntuk-puntuk yang bertebaran, “Selamat tinggal Candisari.”

Tangis Nyai Pruwit meledak-ledak tanpa tertahankan. Dan disela-sela suara tangis itu terdengar suara Ki Tambi. “Kau sudah menjadi gila Bramanti. Kau sudah gila. Kenapa kalian tidak melakukan perang tanding saja? Ayo siapa yang menang, ia adalah orang yang berhak menentukan siapakah yang akan tinggal di rumah itu. Apakah ia seorang penjahat apakah ia anak seorang penjahat. Ayo sebaiknya kalian berkelahi. Bukankah kalian adalah anak-anak jantan?”

Segera terdengar suara Panggiring berat, “Tidak paman. Aku tidak ingin menyelesaikan masalah di antara keluarga dengan cara itu.”

Tetapi Ki Tambi seakan-akan tidak mendengarnya, “Ayo Bramanti. Kau mempunyai pe dang pendek itu. Kau sudah berhasil membunuh Sapu Angin, orang itu yang paling ditakuti oleh siapapun di Kademangan ini dan sekitarnya. Sedang Panggiring adalah seorang perampok yang mengerikan di pesisir Utara. Ayo, kalau kau tidak membawa senjata pakai pedangku.”

Tetapi Panggiring segera menyahut, “Tidak ada gunanya.”

“Kenapa kau diam saja Bramanti. Cepat, tarik pedangmu.”

Wajah Bramanti menjadi tegang. Tetapi tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya.

Namun yang terdengar masih suara Panggiring, “Paman, tanganku telah menjadi terlampau kotor. Di saat-saat terakhir aku merasa, bahwa tanganku sudah tidak akan menjadi semakin kotor lagi. Berapa puluh orang telah mati oleh tangan ini. Karena itu aku tidak akan menambahnya lagi.”

“Kau terlampau sombong,” geram Bramanti. “Apakah kau kira bahwa kau dapat membunuh aku.”

“Bukan, bukan itu maksudku,” cepat-cepat Panggiring menyahut, “Aku tidak bermaksud demikian. Maaf Bramanti. Maksudku, aku sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk berkelahi.”

“Apakah lukamu disaat terakhir telah membuatmu cacat. Membuat tanganmu lumpuh, atau kakimu atau apapun padamu Panggiring?” teriak Ki Tambi.

“Tidak paman. Ternyata hatikulah yang lumpuh selama ini. Justru baru disaat terakhir hati itu mampu bekerja keras.”

“Pengecut,” teriak Ki Tambi.

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ki Tambi tidak dapat mengekang perasaannya yang melonjak-lonjak lagi. Orang tua itu menjadi sangat kecewa melihat dua orang saudara yang tidak dapat berada di dalam satu lingkungan keluarga yang kecil.

“Sudahlah,” berkata Panggiring kemudian, “Malam telah larut. Aku akan pergi.” Kemudian kepada ibunya, “Jangan menangis lagi ibu. Semuanya sudah selesai. Ibu akan dapat hidup tentram seperti pada masa saat aku belum mengguncang ketentraman itu. Maafkan aku ibu.”

“Panggiring,” isak ibunya, “Kenapa kau harus pergi?”

“Tidak apa-apa ibu.”

“Seharusnya kau tetap tinggal bersamaku.”

Yang terdengar kemudian adalah suara Bramanti, “Kalau Panggiring tetap tinggal bersama ibu, lebih baik akulah yang pergi.”

“Bramanti,” teriak ibunya, “Tidak ngger. Kau tidak boleh pergi. Kau juga tidak.”

Sejenak setiap orang seakan-akan menjadi terbungkam. Yang terdengar hanya isak tangis Nyai Pruwita dan derik ilalang di pematang.

Panggiring kemudian mengangkat kakinya dan melangkah sambil berkata, “ Selamat tinggal semuanya. Akulah sumber persoalan. Kalau aku pergi, semuanya akan selesai.”

Panggiring tidak menunggu jawaban siapapun. Perlahan-lahan ia melangkah pergi. Sementara itu terdengar suara Nyai Pruwita memanggil, “Panggiring, Panggiring.”

Tetapi Panggiring tidak berpaling. Bahkan langkah nya menjadi semakin cepat, sedang kepalanya pun menunduk dalam-dalam. Suara ibunya terdengar setiap kali seperti goresan sembilu di dinding jantung. Tetapi ditahankannya hatinya. Dan ia benar-benar tidak berpaling, meskipun terasa pelupuk matanya menjadi hangat.

Beberapa orang yang berdiri di sepanjang pematang tiba-tiba telah menyibak. Mereka berloncatan turun ke sawah ketika Panggiring lewat di pematang itu juga.

Beberapa orang saling berpandangan. Dan beberapa orang berkata di dalam hatinya, “Apakah Panggiring ini adalah Panggiring yang dulu?”

Tetapi Panggiring berjalan terus. Suara panggilan ibunya terdengar semakin jauh.

Ketika Panggiring beranjak dari tempatnya, dan ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia berkata, “Biarlah anak itu pergi ibu. Sudah menjadi keputusanku. Panggiring tidak boleh berada di Kademangan ini.”

“Kau terlampau kejam Bramanti,” desis ibunya.

“Bukan aku, tetapi adalah salah Panggiring sendiri. Ia telah melumuri tangannya dengan darah dan noda. Tidak ada tempat di halaman rumahku baginya. Halaman yang kotor itu telah aku bersihkan. Demikian juga nama keluargaku.”

“Tetapi ia berhak berbuat demikian.”

“Tidak,” suara Panggiring pun menjadi semakin keras. “Terserah kepadaku, apakah aku memberikan ijin itu kepadanya atau tidak. Tanah itu tinggal satu-satunya peninggalan ayahku yang masih dapat aku raba, karena semuanya telah lenyap dilingkaran judi. Dan tanah itu sekarang akan dikotori dengan darah yang meleleh dari tangan Panggiring.

“Bramanti,” potong ibunya.

Tetapi Bramanti berkata terus, “Aku tidak akan merelakannya. Setiap sentuhan pada selembar daun, maka daun itu akan aku gugurkan. Dan setiap bekas kakinya akan aku cukil dan aku lembar kegerojogan.”

“Terlalu, terlalu kau Bramanti. Kau benar-benar kejam. Kejam sekali. Sebenarnya kau tidak dapat berbuat begitu.”

“Kenapa? Tanah itu adalah tanah peninggalan ayahku. Kenapa?”

“Tidak, tidak. Kau keliru.”

Wajah Bramanti menjadi tegang.

“Baiklah Bramanti. Kini kau sudah dewasa. Kau sudah cukup mempunyai pertimbangan atas baik dan buruk. Ketahuilah bahwa tanah itu sama sekali bukan tanah ayahmu seperti yang kau sangka sampai sekarang. Meskipun hak atas tanah itu kemudian berada di tangan ayahmu, tetapi tanah itu adalah tanah Demang Candisari yang dahulu. Ayah Panggiring. Sepeninggalan ayahnya, datanglah ayahmu. Pruwita. Laki-laki yang hanya pandai merayu. Tetapi salahku. Salahku. Salahku,” Nyai Pruwita terjatuh di atas lututnya. Cepat Ki Tambi memeganginya. Tetapi tubuhnya sendiri telah menjadi gemetar dibakar oleh perasaannya.

Tanpa dapat menahan perasaan lagi, sambil memegangi pundak Nyai Pruwita, Ki Tambi berkata lantang, “Terkutuklah laki-laki yang bernama Pruwita itu. Ia benar-benar hanya pandai merayu. Tetapi ibumu yang ditinggal mati muda itu pun tidak teguh iman, sehingga akhirnya jatuhlah ia ke dalam dekapan setan itu. Kekayaan yang ditinggalkan oleh suaminya, Demang Candisari, ayah Panggiring, sedikit demi sedikit dilemparkannya kelingkaran judi, setelah ia berhasil merampas hak itu dan memindahkannya kepada dirinya sendiri,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Alangkah bodohnya ibumu. Dan alangkah gilanya Pruwita itu,” suara Ki Tambi menjadi gemetar,

“Bramanti, kalau kau tidak percaya, bertanyalah kepada orang tua-tua. Bertanya kepada setiap orang Candisari sebayaku. Bahkan yang ikut membunuh ayahmu sekarang masih ada yang tetap hidup. Bertanyalah kepada mereka, apa yang dilakukan ayahmu setelah menghabiskan segala harta milik ibumu yang lemah iman karena rayuan seorang laki-laki iblis. Dan apakah yang pernah dilakukannya atas Panggiring, anak tirinya itu? Dengar Bramanti, dengar. Senja itu, kau terjatuh dari tangga. Kau masih kecil. Namun barangkali kau masih ingat. Dengan penuh kasih seorang kakak kau didukung oleh Panggiring masuk kedalam rumah. Tetapi karena terkejut dan benturan pada kepalamu, maka kau pingsan. Ibumulah yang menyuruh Panggiring menyusul ayahmu. Tetapi apa yang terjadi, Panggiring dipukuli habis-habisan. Diusirnya ia seperti anjing. Ternyata ayahmu yang sedang asyik berjudi itu sama sekali tidak mau terganggu, seandainya kau mati sama sekali. Dan aku tahu pasti,” suara Ki Tambi merendah. “Saat itulah Panggiring meninggalkan Kademangan ini.”

Nafas Ki Tambi menjadi terengah-engah. Tetapi dadanya serasa menjadi lapang. Semua gejolak di dalam dadanya telah dimuntahkannya. Dan bahkan kemudian ia berkata, “Nah, kau sudah mendengar semuanya. Sekarang, terserah kepadamu. Apa yang kau lakukan atasku. Kalau kau menganggap aku telah memfitnah nama ayahmu, kau dapat menuntut. Bahkan membunuh aku sekali.”

Dan pada saat itulah, tubuh Nyai Pruwita menjadi lemah. Kini ia tidak dapat lagi bertahan pada lututnya. Perlahan-lahan ia terkulai jatuh di tangan Ki Tambi. Nyai Pruwita menjadi pingsan pula karenanya.

Sementara itu Bramanti berdiri dengan tubuh gemetar. Giginya terkatub rapat-rapat. Namun dadanya serasa dilanda oleh angin pusaran yang tiada tara dahsyatnya. Gelombang perasaannya menjadi semakin gemuruh seperti perut gunung berapi yang hampir meledak.

Selangkah ia maju mendekati ibunya. Perlahan-lahan berlutut dan meraba tangan perempuan tua itu. Sejenak anak muda itu merenung. Namun tiba-tiba ia tegak berdiri. Ditatapnya pematang yang tadi dilalui oleh Panggiring. Dengan serta merta ia pun meloncat berdiri dan melangkah menyusuri pematang itu dengan tergesa-gesa.

“Bramanti, Bramanti,” teriak Ki Tambi. Tetapi Bramanti tidak menyahut. “He, apakah kau sudah gila he?”

Bramanti melangkah terus. Semakin cepat, semakin cepat.

Dan suara Ki Tambi itu menggelepar seperti keluhan angin dipesisir. Hilang tanpa bekas. Sedang Bramanti sama sekali tidak berpaling. Ia berjalan terus di atas pematang menyusul Panggiring. Tidak seorang pun yang mengerti apakah maksudnya.

Orang-orang yang berada di pematang segera menyibak pula ketika Bramanti lewat, seperti mereka telah memberikan jalan kepada Panggiring.

Namun kini mereka menjadi semakin ingin tahu, apakah yang akan terjadi. Karena itu, maka setelah sejenak mereka saling berpandangan, maka satu demi satu mereka pun segera menyusul Bramanti pula.

Ki Tambi melihat semua itu dengan dada yang bergelora. Seperti orang-orang lain ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Bramanti. Tetapi sudah terang, bahwa ia tidak akan dapat meninggalkan Nyai Pruwita begitu saja di pematang sawah.

Dengan demikian, maka betapa gelora melanda dinding dadanya, namun Ki Tambi terpaksa menunggu sehingga Nyai Pruwita yang pingsan itu menjadi sadar.

Ketika perempuan itu mulai membuka matanya, setelah Ki Tambi menyeka keningnya dengan sejuknya air embun di daun padi, maka dengan sareh ia berkata, “Sudahlah Nyai. Jangan kau risaukan lagi persoalan anak-anakmu. Mereka sudah dewasa, dan mereka seharusnya sudah dapat melihat baik dan buruk, salah dan benar.”

“Tetapi aku tidak pernah mengajarkannya Ki Tambi,” jawab Nyai Pruwita terputus-putus. “Aku tidak pernah menunjukkan kepada anak-anakku, apakah yang baik dan apakah yang buruk. Dan itu adalah pertanda betapa salahnya tingkah lakuku semasa mudaku.”

“Jangan menyalahkan diri sendiri, desis Ki Tambi kemudian, “Tetapi, marilah kita kembali. Kau perlu beristirahat. Kita akan menjadi semakin kedinginan disini.”

Nyai Pruwita mengangguk, “Tetapi tubuhku serasa sudah tidak bertulang lagi.”

“Marilah aku tolong.”

Kemudian dengan susah payah Ki Tambi menolong Nyai Pruwita berjalan menyusuri pematang.

Sementara itu langkah Bramanti menjadi semakin cepat. Sejenak ia ragu-ragu ketika ia sampai ke jalan yang membujur di tengah-tengah persawahan. Namun sejenak kemudian tanpa diminta salah seorang yang melihatnya ragu-ragu berkata kepadanya, “Kebetulan aku berada disini ketika ia meloncati parit ini. Ia pergi ke Timur.”

Bramanti memandangi orang itu sejenak. Mula-mula ia menjadi heran, kenapa orang itu tanpa dimintanya telah memberitahukan kepada Panggiring pergi.

“Apakah mereka memang menghendaki sesuatu akan terjadi? Ataukah mereka telah terlampau lama tidak melihat kekerasan terjadi di Kademangan ini? Atau maksud-maksud yang lain?”

Tetapi Bramanti tidak mau memikirkannya lagi. Ia pun segera melangkah ke arah Timur, menyusul langkah Panggiring.

Dalam pada itu, orang-orang Candisari yang mengikutinya, beriring-iringan pergi ke arah yang sama. Dengan wajah-wajah yang tegang mereka berjalan semakin cepat pula, mengikuti langkah Bramanti.

Tetapi sejenak langkah-langkah mereka tertegun. Langkah orang-orang Candisari, dan langkah Bramanti yang berada agak jauh dihadapan iring-iringan itu.

Lamat-lamat mereka mendengar tengara, suara kentongan dikejauhan. Nada kentongan itulah yang membuat dada mereka berdebar-debar. Titir. Dan mereka menjadi semakin yakin, ketika suara titir itu segera menjalar keseluruh padesaan di Kademangan Candisari.

“He, kau dengar suara titir itu?” bertanya salah seorang pengawal kepada kawannya.

“Ya, titir.”

“Dan kau tahu artinya?”

“Bahaya yang paling mengancam Kademangan.”

Tiba-tiba di antara mereka Temunggul menjadi gemetar. Terngiang kata-kata Ki Demang di Kademangan pagi tadi. Jika demikian maka suara titir itu adalah pertanda datangnya bahaya dari padepokan Panembahan Sekar Jagat.

Dengan suara gemetar ia berkata kepada Ki Jagabaya yang berada di antara mereka pula, “Kita harus segera kembali.”

Wajah Ki Jagabaya pun menjadi tegang, “Ya, tetapi bagaimana dengan Bramanti?”

“Ia sedang mengurusi keluarganya.”

“Seharusnya ia mendengar suara titir itu.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Katanya, “Panggiring sudah ada disini, dan kini kita mendengar kentongan titir. Apakah ada hubungannya antara kegagalan Panggiring membujuk keluarganya untuk mendapatkan tempat tinggal di Kademangan ini dengan suara titir itu?”

“Maksudmu, bahwa Panggiring itu pulalah yang kini datang ke Kademangan dengan nama Panembahan Sekar Jagat?”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Persetan. Tetapi kita harus berada di Kademangan. Mungkin gardu-gardu yang hanya ditunggui oleh beberapa orang itu kini telah disapu bersih, justru sebagian terbesar anak-anak muda yang tidak sedang bertugas lagi berada disini.”

“Ya, kau benar,” sahut Ki Jagabaya.

Namun sebelum mereka mengambil keputusan, mereka melihat sesosok bayangan berlari-lari. Bramanti.

“Bagaimana dengan suara titir itu?” bertanya Temunggul ketika Bramanti telah berada di lingkungan anak-anak muda yang kebingungan.

“Kita pergi ke Kademangan. Aku urungkan niatku untuk menemui kakang Panggiring. Kita selesaikan dulu persoalan kita dengan Panembahan Sekar Jagat.”

“Justru setelah usaha Panggiring gagal.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Siapapun yang bernama Panembahan Sekar Jagat itu, kita harus menyelesaikan.”

Bramanti tidak menunggu jawaban lagi. Segera ia berlari-lari menuju ke Kademangan. Menurut perhitungannya Panembahan Sekar Jagat pasti akan langsung menuju ke tempat itu, karena ia tahu bahwa pusat penjagaan para pengawal berada di Kademangan itu.

Para pengawal, anak-anak muda dan bahkan orang tua-tua pun segera mengikutinya. Mereka sadar, bahwa apabila benar Panembahan Sekar Jagat datang, maka Kademangan Candisari akan berada dalam kesulitan. Menurut beberapa orang, Panembahan Sekar Jagat adalah seorang yang tidak dapat dikalahkan oleh siapapun juga. Bahkan satu dua orang telah menambah keterangan, bahwa Panembahan Sekar Jagat mempunyai aji Pancasona. Ia tidak akan dapat mati, selama ia masih menyentuh tanah.

Sambil berlari-lari Bramanti masih sempat berteriak, “Temunggul, anak-anak muda seluruh Kademangan harus bersiap. Mereka harus membawa senjata mereka. Yang sempat membuat diharap membawa obor-obor dari jenis apapun juga.

Tidak ada yang menjawab. Namun dengus nafas mereka, seakan-akan dengus nafas seekor harimau yang terluka.

Satu dua orang sempat singgah ke rumah masing-masing untuk mengambil obor minyak jarak, atau obor kecil dari biji-biji jarak kepyar, atau obor belarak.

Dalam pada itu, Ki Tambi yang sedang memapah Nyai Pruwita pun mendengar suara titir itu pula, sehingga dadanya menjadi berdebar-debar.

“Titir itu?” bertanya Nyai Pruwita.

Ki Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Itu adalah suatu sikap hati-hati. Mungkin tidak ada apa-apa, namun mungkin anak-anak itu melihat sesuatu yang mereka curigai.”

“Bukankah kentong titir pertanda ada Rajapati.”

“Maksud Nyai, pembunuhan?”

Perempuan tua itu mengangguk.

“Ya. Tetapi kali ini kita disini telah mempunyai semacam perjanjian. Kentong titir mempunyai arti tersendiri. Bahaya yang besar sedang mengancam Candisari.”

Nyai Pruwita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa tubuhnya memang agak gemetar.

“Kita pergi kemana?” bertanya perempuan itu kemudian.

“Aku ingin mengantarkan Nyai dahulu, kemudian aku akan pergi ke Kademangan, untuk melihat, apakah yang datang itu benar-benar yang kita tunggu selama ini.”

“Siapa?”

“Panembahan Sekar Jagat.”

“Panembahan Sekar Jagat?” perempuan itu menjadi tegang, “Dimana Bramanti? Ia adalah salah seorang yang telah melawan Panembahan Sekar Jagat atau utusannya secara terbuka. Bramantilah yang akan mendapat perhatian khusus dari Panembahan Sekar Jagat itu. Ia harus bersembunyi. Ia harus bersembunyi.”

“Ia akan dapat menjaga dirinya Nyai. Anakmu adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ilmunya telah meyakinkan seluruh isi Kademangan, bahwa hanya anakmulah yang akan dapat melawan Panembahan Sekar Jagat.”

“Tetapi tidak seorang pun yang dapat meremehkan, siapakah yang lebih unggul di antara mereka berdua.”

“Seluruh Kademangan meletakkan harapan kepada Bramanti.”

“Aku tidak peduli. Kademangan ini telah merampas kebahagiaanku. Kademangan ini pulalah yang telah menolak kehadiran Panggiring, dan sekarang Kademangan ini akan merampas Bramanti. Tidak. Tidak. Aku tidak mau kehilangan semuanya. Suamiku, Panggiring dan sekarang Bramanti.”

Kita Tambi menjadi bingung menghadapi Nyai Pruwita yang kehilangan akal. Perempuan itu agaknya memang sudah tidak dapat diajak berbicara lagi.

“Baiklah Nyai,” berkata Ki Tambi kemudian, “Aku akan mencari Bramanti. Tetapi sebaiknya Nyai pulang dahulu. Suara titir itu pun masih belum dapat kita pastikan artinya.”

Nyai Pruwita mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berbisik, “Apakah kentong itu ditujukan kepada Panggiring?”

“Tidak. Tentu tidak. Panggiring bukan seorang pengecut. Ia adalah laki-laki jantan. kalau ia berkata pergi, maka ia pun akan pergi. Aku kira suara itu tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Panggiring.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun lambat, namun mereka berdua akhirnya telah memasuki pedesaan. Betapa gelisahnya Ki Tambi namun ia masih mencoba menahan diri. Dengan sareh ia memapah Nyai Pruwita naik ke pendapa, kemudian membawanya masuk ke rumahnya. Perlahan-lahan dilayaninya perempuan itu duduk di amben bambu di ruang tengah.

“Nyai,” berkata Ki Tambi, “Aku langsung mita diri. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di pedesaan ini.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepa-lanya. Katanya, “Ki Tambi. Bawa anakku pulang. Bawa Bramanti kembali kepadaku. Aku menyesali sekali bahwa aku telah mengatakan keadaannya yang sebenarnya.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun telah mengatakannya pula. Jauh lebih banyak dari yang dikatakan oleh Nyai Pruwita.

Tetapi Ki Tambi tidak mempunyai banyak waktu. Sambil melangkah ia menjawab, “Aku akan membawa Bramanti pulang. Tunggulah dengan tenang disini Nyai.”

Sejenak kemudian Ki Tambi telah melangkah tlundak pintu. Setelah menutup pintu itu kembali, maka ia pun langsung menghambur ke halaman dan berlari-lari ke Kademangan.

Belum lagi ia melampaui gardu pertama, ia telah melihat kesibukan yang luar biasa. Anak-anak muda di gardu itu telah berdiri berderet-deret di pinggir jalan dengan senjata telanjang.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Tambi.

“Panembahan Sekar Jagat telah datang.”

“Panembahan Sekar Jagat sendiri?”

“Kamai belum melihatnya sendiri.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata, “Panembahan Sekar Jagat hanya satu. Seandainya Panembahan Sekar Jagat benar-benar orang yang tidak terkalahkan, namun anak buahnya adalah orang-orang yang berdaging lunak seperti kalian. Ujung-ujung senjata kalian tidak akan mengulang untuk kedua kalinya. Sedang Panembahan Sekar Jagat sendiri, serahkan kepada Bramanti.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun mereka sudah bukan anak-anak muda Candisari beberapa saat yang lalu. Kini mereka bertekad untuk mempertahankan kampung halaman mereka sampai kemampuan yang penghabisan.

“Inilah saatnya,” berkata Ki Tambi, “Kalian tidak dapat lagi tidur bermalas-malasan. Atau memanjakan diri kalian sendiri. Kalian harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa pada suatu saat kalian harus bersikap terhadap tanah ini.

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Hati-hatilah,” pesan Ki Tambi yang kemudian segera melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan gardu itu.

Semakin dekat dengan Kademangan, Ki Tambi merasakan, bahwa suasana memang menjadi semakin panas. Tidak hanya anak-anak muda, tetapi hampir setiap laki-laki telah keluar dari rumahnya dengan senjata di tangan.

Ketika Ki Tambi sampai ketikungan terakhir, maka langkahnya terhenti. Ia melihat sekelompok anak-anak muda berdiri disebelah menyebelah jalan. Beberapa orang di antara mereka berada di dalam pagar batu.

“He, kenapa kalian berada disini?”

“Di depan itu adalah laskar Panembahan Sekar Jagat,” jawab salah seorang dari mereka.

“He?” Ki Tambi terkejut, “Mereka sudah berada di Kademangan?”

“Ya. Sebagian dari mereka berada di halaman. Sebagian yang lain berada di luar.”

“Apakah kau melihat Bramanti?”

“Bramanti berada di halaman itu pula.”

“Jadi, maksudmu Bramanti tidak mengadakan perlawanan?”

“Bukan begitu. Mereka sedang berbicara. Panembahan Sekar Jagat mempunyai beberapa tuntutan.”

“Apakah Bramanti hanya seorang diri?”

“Tidak. Temunggul, Ki Jagabaya dan hampir semua pengawal berada disana. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dan kami pun hanya menunggu perintah. Kami berada di luar kepungan laskar Panembahan Sekar Jagat. Tugas kami adalah memecahkan kepungan itu dari luar.

“Apakah hanya kalian saja yang berada disini?”

“Ya. Tetapi disetiap jalan yang menuju ke Kademangan, telah dipersiapkan sekelompok pasukan. Kami akan menyerang dari segala arah apabila pertempuran terjadi. Sedang di dalam kepungan terdapat para pengawal yang dipimpin oleh Bramanti.

Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Ia ingin masuk ke halaman Kademangan supaya ia dapat melihat perkembangan keadaan. Tetapi apakah ia dapat menerobos kepungan yang dilakukan oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat?

Karena itu maka ia pun bertanya pula, “Apakah kepungan itu terlampau rapat?”

“Kami tidak tahu pasti. Mungkin kepungan itu tidak tertembus sama sekali.”

Tetapi Ki Tambi bukan orang yang mudah berputus asa. Maka katanya, “Aku akan mencari celah-celah yang dapat aku susupi. Aku tidak yakin bahwa lingkaran kepungan itu demikian rapatnya, sampai kerumpun-rumpun bambu dikebun belakang, atau sampai ke pinggir parit dibawah pohon cangkring.”

Anak-anak muda itu tidak menyahut. Tetapi kepala mereka terangguk-angguk.

Dengan hati-hati Ki Tambi pun melangkah maju. Tetapi ia kini tidak melalui lorong yang langsung menuju ke regol Kademangan. Dicarinya jalan lewat jalur-jalur setapak dikebun-kebun disekitar Kademangan menuju ke halaman belakang yang rimbun.

Ki Tambi itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Panembahan Sekar Jagat mempunyai kecakapan khusus sehingga anak-anak muda Candisari menganggap bahwa halaman Kademangan memang sudah terkepung rapat.

“Bahkan orang-orang di halaman itu pun pasti menyangka, bahwa kepungan ini tidak terputus,” katanya di dalam hati. “Aku kira mereka pasti sudah mengadakan gelar sandi, berkeliaran disekitar Kademangan sehingga membuat kesan seolah-olah laskar mereka cukp banyak dan berhasil mengepung Kademangan.”

Namun Ki Tambi yang pernah melakukan petualangan sampai ke pesisir Utara itu masih mampu mencari celah-celah yang dapat dilaluinya.

Sambil merunduk-runduk dan menahan pernafasannya, Ki Tambi menjadi semakin dekat. Diseberangi sebuah parit kecil, kemudian berlindung dibelakang gelapnya bayangan daun cangkring yang rimbun.

Perlahan-lahan ia maju. Setapak demi setapak. Sehingga akhirnya ia sampai ke dinding belakang Kademangan.

“Hem, jalan ini terbuka,” desisnya. Tetapi dinding bagian belakang ini agak tinggi.

Ki Tambi itu pun kemudian mencoba untuk memanjat. Dengan serta merta ia pun segera meloncat masuk.

Tetapi begitu kakinya menjejak tanah dua ujung tombak telah melekat di dadanya.

“He, lihat. Aku Tambi,” desisnya.

“Oh,” mata tombak itu pun kemudian merunduk,” Ki Tambi. Maaf, aku tidak dapat segera mengenal.”

“Bagus. Kalian menjadi kian tangkas,” desis Ki Tambi, kemudian, “Dimana Bramanti?”

“Di halaman.”

“Apakah Panembahan Sekar Jagat berada di halaman pula?”

“Ya,” jawab salah seorang dari keduanya.

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Kemudian orang-orang lain yang berada disekitarnya. Ternyata bahwa di kebun belakang Kademangan itu telah penuh dengan para pengawal. Hampir pada setiap batang pohon bersandar anak-anak muda yang bersenjata telanjang.

“Aku akan menemui Bramanti,” berkata Ki Tambi.

“Hati-hatilah. Tetapi tidak begitu banyak orang Panembahan Sekar Jagat yang ada di bagian belakang. Sebagian terbesar dari mereka berada di depan.”

“Justru mereka memusatkan orang-orang mereka untuk masuk dari jurusan ini,” jawab salah seorang pengawal.

Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Mungkin. Tetapi aku baru saja menyusup dari jurusan ini. Agaknya mereka telah melakukan suatu gerakan yang dapat membingungkan kita.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara Ki Tambi melangkah memutari rumah Kademangan menuju ke halaman depan.

Sejenak mereka tertegun ketika ia melihat seseorang yang duduk di atas punggung kuda putih. Ditangannya tergenggam sebuah trisula bertangkai pendek. Tidak lebih panjang dari lengan tangan orang yang memeganginya.

“Hem, inikah orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?” berkata Ki Tambi di dalam hatinya. Namun Ki Tambi masih tetap berdiam diri. Perlahan-lahan ia bergeser mendekati Ki Jagabaya yang berdiri tegang. Di sampingnya Temunggul mematung dengan wajah yang merah padam.

Bramanti berdiri agak kemuka. Beberapa langkah dihadapan orang yang duduk di atas kuda putih.

“Menurut pengamatanku, orang itu sama sekali bukan Panggiring,” desis Ki Tambi di dalam hati. “Sekarang mereka akan dapat menarik kesimpulan bahwa dugaan anak-anak itu keliru.”

“Bagaimana?” terdengar suara Panembahan itu menggelegar, “Aku sudah berlaku adil.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berbisik kepada Temunggul, “Apa yang ditawarkannya?”

“Ia akan mengambil Bramanti, tanpa mengusik orang lain, karena yang telah membunuh Sapu Angin adalah Bramanti.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar orang yang duduk di atas kuda putih itu berkata, “He, kau orang baru, apakah yang kau tanyakan?”

“Tuntutanmu,” jawab Ki Tambi tanpa mengenal takut.

Semua orang berpaling kepadanya. Bramanti pun berpaling pula. Sementara Ki Tambi melangkah maju, “Apakah dasarmu, bahwa kau hanya sekadar ingin mengambil Bramanti? Apakah kau anggap dengan demikian persoalan akan selesai? Seandainya demikian, kami bukan tikus-tikus yang paling bodoh,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah kau yang bernama Sekar Jagat?”

Orang itu tidak segera menyahut. Dipandanginya orang tua yang dengan berani telah mendekatinya.

“Siapa kau?”

“Akulah yang bernama Ki Tambi.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau terlampau sombong orang tua. Apakah kau sangka namamu dapat mengejutkan aku?”

“Tidak. Aku tidak ingin mengejutkan kau.”

“Terima kasih. Kau memang baik hati,” jawab Sekar Jagat sambil tersenyum. “Aku juga ingin memperkenalkan diriku. Namaku sudah kau sebut. Dan kini aku mengharap bahwa permohonanku kepada rakyat Candisari akan dikabulkan. Hanya seorang diantara kalian. Itu pun yang telah nyata bersalah.”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Dipandanginya Bramanti yang berdiri tegak seperti patung.

Namun tiba-tiba Ki Tambi berkata lantang, “Itu omong kosong. Tidak ada orang yang pernah bersalah terhadap kalian. Kalianlah yang bersalah terhadap kami,” kemudian ia berpaling kepada Bramanti. “Apakah jawabanmu?”

“Terserah kepada rakyat Candisari,” desis Bramanti, “Kalau kita mempunyai harga diri, maka kita akan menghancurkan pasukan Sekar Jagat.”

Sebelum Ki Tambi menyahut, Ki Jagabaya, melangkah maju pula, “Aku sudah menggenggam senjata.”

“Nah, kau dengar Sekar Jagat,” teriak Ki Tambi yang perasaannya memang sedang melonjak-lonjak tidak karuan, “Kami juga bersenjata seperti kalian. Apakah kau tidak melihat? Kami bukan kambing perahan yang dapat kau perlakukan sewenang-wenang.”

Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya, kemudian, “Tetapi aku sudah mendapat kekuasaan untuk melakukannya dari pemimpin tertinggi kalian, Ki Demang Candisari.”

“Omong kosong.”

“Bertanyalah kepadanya. Ia ada bersama kami.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia maju, ketika ia melihat seseorang muncul dari belakang beberapa pengawal terpercaya Panembahan Sekar Jagat.

“Jadi kaukah itu Ki Demang?” teriak Temunggul.

Ki Demang yang kemudian berdiri disamping Panembahan Sekar Jagat menganggukkan kepalanya, “Aku tidak akan berpura-pura lagi. Sebenarnyalah aku telah meletakkan perlindungan wilayah ini dari keganasan para penjahat di bawah kaki Panembahan Sekar Jagat. Karena itu kalian jangan berbuat bodoh. Kalian harus mengorbankan anak Pruwita ini. Anak seorang pejudi, pemeras dan seorang penjahat yang licik tidak ada taranya.”

“Cukup,” teriak Temunggul dan Bramanti hampir berbareng. Sementara Temunggul berkata terus, “Jadi inilah penjelasan dari sikapmu itu Ki Demang. Sehingga kau telah membujuk aku untuk melakukan pembunuhan atas Bramanti?”

Ki Demang tidak ingkar. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Ya. Itulah. Nah, sekarang pertimbangkan.”

“Persetan,” Ki Tambilah yang berteriak. “Kami akan bertempur. Kami sudah siap dari ujung sampai ke ujung Kademangan. Kalian akan kami tumpas seperti menumpas tikus disawah.”

Tetapi Panembahan Sekar Jagat justru tertawa sambil berkata, “Kau memang orang tua yang sombong. Tetapi baiklah aku jelaskan. Kademangan ini telah terkepung. Kalau kalian tidak menyerahkan Bramanti, maka Kademangan ini akan menjadi karang abang.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Kau tidak dapat mengelabuhi orang tua-tua Sekar Jagat. Mungkin kau dapat menakut-nakuti anak-anak. Tetapi aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa orang-orangmu tidak lebih dari sebaris laskar yang kelaparan disekitar halaman Kademangan ini. Itupun tidak melingkar rapat. Sedang diluar kepungan ini anak-anak muda telah siap untuk menghancurkan kalian. Nah, apakah kau masih akan menyombongkan dirimu dan pasukanmu?”

Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya. Dan ia masih mendengar Ki Tambi berkata, “Kemudian, seandainya kau ingin membakar Kademangan ini, kami tidak akan berkeberatan. Maksudku rumah Demang yang telah menjual Kademangannya. Bakarlah. Jadikanlah karang abang. Kami akan berterima kasih.”

Ki Demang mengumpat tidak habis-habisnya sedang Panembahan Sekar Jagat bertanya dalam nada yang berat, “Itukah permintaanmu? Permintaan kalian?”

“Persetan,” Ki Jagabaya yang menjawab, “Ayo, lakukanlah.”

Panembahan Sekar Jagat merenung sejenak. Sekali ia berpaling dan beberapa orangnya melangkah maju.

Bramanti masih berdiri dengan dada berdebar-debar. Ia menyadari, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang cukup buas, sehingga mereka akan dapat melakukan apa saja. Perintah Sekar Jagat bagi mereka adalah keharusan sampai saat ajalnya. Karena itu, untuk menghindari korban yang mengerikan akan berjatuhan, Bramanti berkata lantang, “Panembahan Sekar Jagat. Kau jangan mencoba menakut-nakuti rakyat Candisari sekarang. Mereka bukan lagi pengecut seperti beberapa saat yang lampau. Namun seandainya kau ingin berbuat jantan, dan untuk menghindari korban yang tidak perlu, marilah kita berbuat seperti laki-laki.”

Suara Bramanti itu menggelegar memenuhi setiap dada. Bahkan Panembahan Sekar Jagatpun menjadi termangu-mangu karenanya.

“Marilah kita bertaruh,” berkata Bramanti.

“Apakah yang akan kita pertaruhkan anak penjudi,” sahut Sekar Jagat, bahkan ia sempat menambah, “Bukankah darah ayahmu menurun juga kepadamu.”

“Diam,” teriak Bramanti, “Aku ingin mempertaruhkan nyawa. Kita berperang tanding. Kalau kau menang, kau dapat membunuh aku dan mencincang tubuhku. Tetapi kalau kau mati, maka anak buahmu akan menjadi tawanan kami, sampai saatnya kami menyerahkan mereka kepada kekuasaan tertinggi. Mataram.”

“Omong kosong dengan Mataram yang belum dapat berdiri tegak,” sahut Panembahan Sekar Jagat. “Tetapi tawaranmu sangat menarik.”

“Nah, marilah. Kita bertempur di halaman ini.”

Panembahan Sekar Jagat termenung sejenak. Sehingga sejenak halaman itu menjadi sepi. Tetapi sepi yang tegang.

Tiba-tiba tanpa mengucapkan sepatah katapun Panembahan Sekar Jagat turun dari kudanya. Dijinjingnya trisulanya sambil melangkah beberapa langkah maju. Dilepaskannya saja kudanya sehingga salah seorang anak buahnya dengan tergesa-gesa menangkap kendalinya.

“Kau adalah anak muda yang jantan Bramanti,” berkata Panembahan Sekar Jagat. “Nah, kalau begitu marilah, aku penuhi permintaanmu.”

Suasana yang tegang itu menjadi semakin tegang. Dengan hampir tidak berkedip mereka memandangi Panembahan Sekar Jagat dan Bramanti berganti-ganti.

Panembahan Sekar Jagat, adalah seorang yang bertubuh kecil pendek terpelihara rapi. Pakaiannya pun adalah pakaian yang baik dan mahal.

Orang-orang di halaman itu tidak dapat melihat wajah itu dengan sempurna. Tetapi mereka menduga bahwa Panembahan Sekar Jagat berumur kira-kira dipertengahan abad.

“Bersiaplah anak muda,” suara Panembahan Sekar Jagat sareh, “Sebaiknya kita segera mulai.

Bramanti mengangkat dadanya. Ia pun maju setapak. Kemudian berkata lantang, “Menepilah. Lihatlah, apakah yang akan terjadi. Kalian sudah mendengar, apa yang akan kami lakukan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia masih berdiri di tempatnya. Bahkan ia pun kemudian melangkah maju mendekati Bramanti sambil berkata, “Hati-hatilah Bramanti.”

Bramanti tidak menjawab. Dipandanginya Ki Tambi sekilas. Orang tua itu baru saja mengumpatinya. Tetapi ini terasa, betapa orang tua itu mencemaskan nasibnya.

Perlahan-lahan Bramanti menganggukkan kepalanya.

“Nah, berilah anak itu petunjuk agar ia tidak mengecewakan,” desis Sekar Jagat.

“Aku tidak perlu memberinya petunjuk apapun. Tidak ada seorang pun yang dapat menyamainya. Sapu Angin itu mati dengan beberapa kejap saja,” jawab Ki Tambi.

Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya. Kemudian trisulanya pun merunduk perlahan-lahan. Desisnya, “Minggirlah. Kami memerlukan tempat yang cukup.”

Maka orang-orang yang berada di halaman itu pun segera menyibak. Namun dengan demikian, orang-orang yang berdiri agak jauh menjadi semakin mendekat. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi kemudian dengan kedua orang itu.

Meskipun demikian Temunggul masih sempat berbisik kepada salah seorang pengawal, “Jangan lengah, awasi anak buah Sekar Jagat. Mungkin ada di antara mereka yang akan berbuat curang.”

Pengawal itu pun menganggukkan kepalanya, dan perintah itu segera menjalar dari telinga ke telinga.

Sementara keduanya saling berhadapan, dan masing-masing telah menggenggam senjata masing-masing dengan eratnya, maka sebuah bayangan di ujung Kademangan berjalan dengan kepala tunduk. Langkahnya satu-satu seakan-akan diberati oleh segumpal batu hitam. Namun ia masih tetap berjalan meskipun semakin lambat.

Tiba-tiba bayangan itu berhenti. Sejenak ia berhenti mematung, namun kemudian dipalingkannya wajahnya. Dihisapnya udara malam yang sejuk itu dalam-dalam, seakan-akan ia mencoba mendinginkan hatinya yang sedang menggelepar.

Orang itu, Panggiring, kini berdiri tegak sambil memandangi Kademangan yang akan ditinggalkannya. Usahanya untuk kembali ke kampung halamannya ternyata sama sekali tidak memberikan buah seperti yang diharapkan.

“Aku tidak akan melihatnya lagi,” desisnya. “Tetapi itu adalah salahku.”

Tiba-tiba terbayang sejenak masa kanak-kanak. Bagaimana ia dipukuli oleh ayah Bramanti yang sedang kalah dilingkaran judi, justru pada saat ia memberitahukan bahwa Bramanti sedang dalam keadaan sakit yang gawat. Kemudian ia terusir dari kampung halaman, mengembara tidak tentu tujuan. Setiap orang selalu mengusirnya seperti mengusir burung disawah.

Terkenang olehnya, bagaimana ia hampir kelaparan di pinggir sawah tanpa seorang pun yang mengasihinya. Dan terkenang pula olehnya, bagiamana ia menjadi putus asa, dan kehilangan akal, sehingga tiba-tiba saja ia telah menerkam seorang gadis kecil yang sedang pergi ke sawah, membawa makanan untuk ayah atau kakaknya yang sedang bekerja. Kemudian dirampasnya makanan itu, dibawanya bersembunyi ke dalam gerumbul.

Panggiring menggeleng-gelengkan kepalanya. Hampir saja ia mati tercekik justru karena ia menyuapi mulutnya terlampau banyak. Sedemikian laparnya, sehingga ia ingin menelan sebungkus nasi itu sekaligus.

“Itulah permulaannya,” desisnya.

Dan seterusnya terbayang apa yang terjadi, seperti ia melihatnya sendiri dalam suatu rangkaian peristiwa yang baru saja kemarin terjadi.

Perampasan, pencurian kecil-kecilan dan perampokan terhadap penjual makanan dan minuman.

Terkenang pula olehnya, ketika pada suatu ketika ia dikejar-kejar oleh orang-orang sedesa karena ia mencuri. Dengan terengah-engah ia terperosok ke dalam sebuah gerumbul. Ia terbebas dari orang-orang yang mengejarnya ketika tiba-tiba saja bahunya ditepuk oleh seseorang yang tidak dikenalnya.

Demikian takutnya, sehingga tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang orang itu. Tetapi ia terpelanting jatuh. Seakan-akan tulang-tulangnya terasa berpatahan.

Hatinya menjadi semakin kecut ketika ia melihat orang itu justru tertawa. Katanya, “Kau berbakat. Kau berhasil lolos dari orang-orang bodoh yang mengejarmu. Mari ikut aku.”

Saat itu ia menjadi kebingungan sejenak. Namun akhirnya ia mengikutinya.

“Hem,” Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Hari-hari berikutnya ia adalah seorang penjahat yang semakin lama menjadi semakin besar sebesar nama orang yang membawanya itu.

Panggiring itu pun kemudian tersandar pada sebatang pohon preh beberapa patok dari desa. Pohon preh disimpang tiga. Disitulah Bramanti duduk termangu-mangu pada saat ia datang untuk pertama kali di Kademangannya kembali setelah bertahun-tahun ditinggalkannya.

Panggiring yang bersandar pohon preh itu mendengar juga titir yang mengumandang diseluruh Kademangan yang kini justru telah berhenti. Ia sadar bahwa titir itu sama sekali tidak ditujukan untuknya, karena justru beberapa orang yang mengikutinya telah dengan tergesa-gesa bahkan berlari-lari kembali ke Kademangan.

Namun dada Panggiring itu menjadi berdebar-debar ketika ketajaman matanya menangkap sesosok tubuh yang berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Perlahan-lahan ia ragu-ragu.

Panggiring masih tetap berdiri ditempatnya. Dan sesosok tubuh itu menjadi semakin dekat.

Beberapa langkah daripadanya bayangan itu berhenti.

Panggiring masih belum beranjak dari tempatnya. Tetapi ia menjadi heran ketika ia mengetahui bahwa yang mendekatinya adalah seorang perempuan.

Dan perempuan itu adalah gadis yang bernama Ratri.

Ternyata orang-orang yang mengerumuni Panggiring dan Bramanti disawah sama sekali tidak menaruh perhatian atasnya, karena perhatian mereka tertumpah pada kakak beradik itu. Ketika kemudian terdengar kentong titir, maka orang-orang lain semakin tidak memperhatikannya lagi. Mereka berlari-lari dengan tergesa-gesa ke Kademangan, sehingga Ratri kemudian tertinggal sendiri.

Tetapi ketika kini ia berdiri beberapa langkah dihadapan Panggiring, tubuhnya menjadi gemetar karenanya. Tiba-tiba saja terbersit ketakutan yang amat sangat. Kenapa ia telah berbuat begitu gila, mengikuti Panggiring yang sudah lama tidak dijumpainya? Apakah Panggiring yang sekarang masih sebaik Panggiring yang dahulu?

Bulu-bulunya meremang ketika ia sadar bahwa Panggiring adalah seorang penjahat yang tidak ada taranya. Ia bukan saja merampas hartabenda, tetapi juga merampas kehormatan gadis-gadis. Dan kini Panggiring itu berdiri dihadapannya seorang diri.

Ratri menjadi hampir pingsan ketika laki-laki yang bernama Panggiring itu melangkah mendekatinya. Apalagi ketika semakin dekat, ternyata semakin nyata bahwa Panggiring itu sama sekali sudah berubah. Wajahnya sama sekali bukan wajah yang selama ini dibayangkannya. Wajah ini adalah wajah yang kasar, dan bahkan wajah yang penuh dengan noda-noda dan bekas-bekas luka.

“Kenapa aku menjadi gila? Kenapa?” Ratri menyesal bukan buatan. Dan laki-laki berwajah kasar, sekasar batu padas itu menjadi semakin dekat.

Namun ketika ia mendengar suara laki-laki itu, hatinya tersentuh. Suara itu dikenalnya. Suara Panggiring. Tetapi ia heran bahwa laki-laki itu bertanya, “Siapa kau?”

Sejenak Ratri memandang laki-laki itu. “Kenapa ia bertanya?”

Dan pertanyaan itu diulanginya, “Siapa kau?”

Ratri menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, “Ratri.”

Panggiring mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengulangi nama itu, “Ratri, Ratri,” tetapi kemudian ia bertanya, “Dimana rumahmu?”

Ratri menjadi semakin heran. Ternyata Panggiring telah melupakannya.

“Aku anak Candisari. Apakah kakang Panggiring lupa padaku?”

Panggiring mencoba mengangguk-angguk. Tetapi ia masih belum dapat mengenal anak itu.

“Aku Ratri kakang. Ratri.”

Perlahan-lahan kepala Panggiring terangguk-angguk dan terangguk-angguk. Dan perlahan-lahan ia berhasil mengingat kembali seorang gadis kecil yang manis.

Tetapi tidak ada kesan apapun pada Panggiring selain Ratri adalah seorang anak yang manis, yang seperti anak-anak yang lain, sering nakal dan manja.

Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa kau kemari?” Suara itu masih bernada lembut seperti yang dahulu sering didengarnya. Tetapi setiap kali tatapan mata Ratri menyentuh wajah laki-laki itu, terasa kulitnya meremang.

“Bukan, bukan wajah itu yang selalu membayang,” terdengar suara didalam lubuk hatinya yang paling ujung, “Wajah yang aku sangka Panggiring ternyata adalah wajah Bramanti. Dan Bramanti ternyata tidak melupakan aku setelah sekian tahun berpisah. Tetapi Panggiring sama sekali tidak teringat lagi masa kanak-kanak itu.”

Dalam pada itu Ratri mendengar Panggiring berkata, “Pulanglah Ratri. Berbahaya bagimu disini. Apakah kau tadi tidak mendengar suara titir?”

Pertanyaan itu ternyata membuat Ratri semakin kecut. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, “Aku takut kakang.”

“Takut?” Panggiring mengerutkan keningnya. “Kalau kau takut kenapa kau kemari?”

Ratri terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.

Tetapi hatinya menjadi bertambah ngeri. Ia tidak berani kembali karena suara titir itu, dan ia menjadi semakin ngeri berdiri dihadapan Panggiring tanpa orang lain.

Panggiring pun terdiam sejenak. Ditatapnya saja gadis yang aneh itu. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Marilah, aku antar kau sampai ke pinggir desa.”

Ratri mengangkat wajahnya sejenak. Katanya, “Apakah kau benar-benar akan meninggalkan Kademangan ini?”

Panggiring menganggukkan kepalanya.

Sekilas terbayang dikepala Ratri, bahwa Panggiring pasti bukanlah orang kebanyakan, kalau ia mampu menjadi seorang kepala perampok yang disegani. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah kau tidak berhasrat membantu mereka yang sedang berusaha mengusir Panembahan Sekar Jagat itu?”

Panggiring tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah gadis yang masih berdiri kaku dihadapannya. Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya, “Aku sudah berjanji kepada diri sendiri, bahwa aku tidak akan lagi mempergunakan kekerasan untuk maksud apapun.”

“Tetapi, tetapi seisi Kademangan Candisari berada di dalam ketakutan.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar suaranya, “Candisari sudah tidak memerlukan aku lagi. Untuk melawan Panembahan Sekar Jagat, Candisari sudah memiliki Bramanti. Ia adalah seorang anak muda yang mumpuni.”

Ratri tidak segera menjawab. Tetapi tersirat kekecewaan di hati laki-laki itu. Betapa ia mencoba menerima keadaannya, namun ternyata didasar hatinya terpercik pula kekecewaan yang membekas. Tetapi ditahankannya kekecewaannya itu untuk tetap mengendap di dasar yang paling dalam.

Dalam kediamannya itu Ratri mendengar Panggiring berkata, “Lekaslah Ratri, aku antar kau sampai ke pinggir desa. Kemudian kau pergi ke gardu yang terdekat. Di dalam gardu itu pasti ada dua atau tiga orang. Dan kau dapat berlindung kepada mereka.”

Sekilas Ratri memandang wajah laki-laki yang bernama Panggiring itu. Sekali lagi terasa bulu-bulunya meremang. Wajah itu keras dan kasar sekasar batu-batu padas digerojogan.

Namun demikian kata-katanya masih terasa lembut. Seperti suara dan kata-kata Panggiring yang pernah didengarnya beberapa tahun yang lampau.

“Marilah,” berkata Panggiring kemudian.

Tanpa menjawab lagi Ratri kemudian memutar dirinya dan berjalan tergesa-gesa kembali ke pedesaan beberapa patok dihadapannya. Meskipun demikian setiap kali ia berpaling untuk melihat laki-laki yang berjalan dibelakangnya. Kadang-kadang tumbuh juga kengerian dihatinya, kalau tiba-tiba saja laki-laki itu menerkamnya.

Tetapi laki-laki itu berjalan beberapa langkah daripadanya. Sama sekali tidak menjadi semakin dekat, justru menjadi semakin jauh.

“Ratri,” berkata Panggiring setelah mereka mendekati sudut desa, “Aku tidak dapat mengantarmu lebih dekat lagi. Aku akan mengotori Kademangan Candisari, karena tangan dan tubuhku telah penuh dengan noda-noda yang tidak terhapuskan. Selamat malam. Aku akan meninggalkan Kademangan ini untuk seterusnya.”

Ratri tertegun sejenak. Perlahan-lahan ia menjawab, “Jadi kau benar-benar akan pergi?”

“Ya Ratri.”

“Dan kau tidak mau membantu mengusir mereka yang sedang memeras Kademangan ini?”

“Aku tidak dapat Ratri. Aku pasti akan dianggap bersalah.”

Ratri menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar, bahwa di seberang tikungan itu ada sebuah gardu. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata sambil berlari, “Terima kasih Panggiring. Aku akan pergi ke gardu itu.”

Sepeninggalan Ratri, Panggiring masih berdiri sejenak di tempatnya. Masih ada juga seseorang yang mau menyapanya, meskipun hanya sepatah dua patah kata, dan tanpa dimengerti maksudnya.

Perlahan-lahan kepala Panggiring terangguk-angguk. Kemudian ia memutar dirinya dan berjalan meninggalkan padukuhan Candisari. Meskipun kini langkahnya terasa semakin berat, tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus pergi.

Sekilas terbayang juga perkelahian antara orang-orang Candisari dan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

“Hem,” Panggiring mendesah, “Panembahan Sekar Jagat agaknya seorang yang pilih tanding. Apakah Bramanti mampu melawannya?”

Tetapi kakinya masih juga melangkah satu-satu. Semakin lama semakin menjauhi kampung halaman.

Sementara itu Ratri datang berlari-lari di gardu yang pertama-tama ia jumpai. Kedatangannya benar-benar telah mengejutkan beberapa orang yang sedang berada di gardu itu.

“Ratri,” sapa salah seorang di antara mereka, “Darimanakah kau?”

“Aku?” Ratri tergagap, “Dari sawah.”

“Malam-malam begini?”

“Tetapi itu tidak penting, antarkan aku pulang.”

“Siapa yang harus mengantarmu? Kami yang dua harus segera pergi ke Kademangan, sedang yang lain, yang tiga harus tetap tinggal di gardu ini.”

“Salah seorang dari yang tiga itu.”

“Tidak berani. Terlampau berbahaya.”

“Jadi? Dua orang mengantarkan aku.”

“Yang seorang tidak berani tinggal seorang diri di gardu.”

“Lalu.”

“Pergilah bersama keduanya yang akan pergi ke Kademangan. Kau akan diantarkan pulang, kemudian mereka akan pergi ke Kademangan untuk memperkuat kesiagaan para pengawal disana.”

“Baiklah.”

Dan sejenak kemudian Ratri bersama dua orang anak-anak muda meninggalkan gardu yang kini tinggal ditunggui oleh tiga orang yang gelisah. Mereka tidak berani berada di dalam gardu. Mereka takut tiba-tiba mereka telah diterkam oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Karena itu, mereka bertiga duduk saja di atas pagar batu disamping gardu, dibelakang rimbunnya dedaunan.

Namun Ratri kemudian sama sekali tidak ingin pulang kerumahnya. Ia memaksa untuk ikut saja ke Kademangan.

“Kau gila Ratri. Apakah kau tidak tahu, bahwa disana mungkin sekali akan terjadi peperangan?”

“Tetapi aku lebih aman berada disana. Kalau keadaan memaksa aku akan bersembunyi di rumah-rumah terdekat. Tetapi kalau aku tinggal dirumah, mungkin ada di antara mereka yang mencari aku.”

Kedua anak muda itu tidak dapat memaksa Ratri pulang. Gadis itu ternyata ikut bersama mereka ke Kademangan, meskipun kemudian ia berhenti agak jauh. Dengan badan gemetar gadis itu berlindung dibalik pagar sebuah halaman rumah yang luas.

“Aku akan bersembunyi di dalam rumah ini. Dirumahku sendiri aku tidak mendapat perlindungan. Ayah pasti berada di halaman ini pula bersama Ki Jagabaya dan orang-orang lain.”

Tetapi yang sebenarnya tersirat di dalam hati Ratri adalah kecemasannya tentang kemungkinan yang dapat terjadi atas Bramanti. Seperti pada saat ia tanpa dapat dikendalikan lagi ingin bertemu dengan Panggiring, maka kini ia telah berbuat serupa. Ia ingin melihat akhir dari perkelahian yang sedang berkecamuk di halaman.

Kini perlahan-lahan ia menyadari, bahwa Panggiring bukan suatu kenyataan yang diharapkannya. Laki-laki itu tidak lebih dari orang lain yang tidak lagi dapat mengenalinya.

Dan tanpa disadarinya tiba-tiba timbullah pertanyaan dihatinya, “Kenapa ia menyangka bahwa anak muda yang bernama Bramanti itu Panggiring?”

Kini ia mengerti, bahwa kenyataan yang dihadapinya itu dianggapnya sebagai suatu angan-angan yang bertolak dari perasaan kekanak-kanakannya.

Tetapi dalam keadaan yang demikian Bramanti sedang berada di dalam bahaya, karena ia sedang berkelahi melawan Panembahan Sekar Jagat, seorang melawan seorang.

Demikianlah yang sedang terjadi di halaman Kademangan. Bramanti dengan pedang pendeknya bertempur mati-matian melawan Panembahan Sekar Jagat yang memegang sebatang trisula bertangkai sepanjang lengannya.

Pertempuran di antara kedua orang itu semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Bramanti adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan yang luar biasa. dan kini ternyata, bahwa dengan tangasnya ia mampu melawan trisula itu dengan pedang pendeknya. Dengan lincahnya ia berloncat-loncat seperti burung sikatan. Namun tiba-tiba saja pedang pendeknya mematuk-matuk dengan dahsyatnya.

Tetapi lawannya adalah seorang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat. Seorang pemeras yang tidak ada taranya di daerah Selatan. Tidak hanya di sekitar Kademangan Candisari.

Dalam kesibukan membangun diri, Mataram masih belum dapat berbuat terlampau banyak, sehingga Candisari, Prambanan, membujur ke Timur, seakan-akan tidak lagi mendapat perlindungannya.

Panembahan Sekar Jagat adalah seseorang yang telah masak untuk melakukan pekerjaan yang dipilihnya. Ia adalah seorang yang dapat berbuat apa saja tanpa berkesan dihatinya. Apalagi lawan, kawan dan anak buahnya sendiri, tidak terkecuali. Kalau ia ingin membunuh, maka ia pun segera membunuh.

Meskipun demikian ia terpaksa sekali-kali mengumpat melawan anak muda yang bernama Bramanti. Anak yang tangguh dan tangkas tiada taranya. Belum pernah ia menemui lawan seperti anak ini.

Namun dengan demikian, Panembahan Sekar Jagat menjadi semakin lama semakin marah. Dari matanya seakan-akan memancar bara api yang paling panas. Sekali-kali ia menggeretakkan giginya, dan bahkan kemudian ia menggeram, “Kau memang ingin aku cincang Sabuk Tampar.”

Bersambung…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar