Penjelajahan Dua Sahabat

Awal Melangkah
Karya : Day-X



Cerah pagi itu menambah semangat Suna untuk mencari tumbuhan obat yang tumbuh liar di hutan yang masih sangat asri. Karena Nek Bong, sapaan kakek sahabatnya sedang sakit dan perlu pengobatan tradisional yang menggunakan bahan obat - obatan yang hanya tumbuh liar di hutan. Setelah semua perbekalan siap ia segera menuju ke rumah sahabatnya. Sesuai janji siang kemarin, mereka akan berangkat pada hari ini.

********************
"Mohon Bantuan dan keikhlasannya untuk tonton sampai selesai dan subscribe channel youtube saya Day-X Studio yah..."
********************




Terlihat oleh Aimba dari balik jendela seorang berbadan kurus tinggi menuju rumahnya dengan segera ia keluar dan berkata “tunggu sebentar Suna, aku akan mengasah parang dulu” ujar Aimba. “Baiklah, aku tunggu” jawab Suna sambil duduk di teras rumah Aimba sembari memeriksa benda yang ada di tangan kirinya. Setelah selesai mengasah parang dan menyarungkannya tak berapa lama kemudian Aimba mengambil perbekalan yang sudah dipersiapkannya dari malam tadi. Setelah ia sampai di teras rumahnya dia melihat Suna sedang duduk santai lalu bertanya “Hei, untuk apalah kau membawa busur panah itu?” tanya Aimba, “oh, ini, hanya untuk persiapan saja, jikalau ada hewan yang bisa diburu nanti untuk tambahan bekal kita” jawab Suna. “hmmmm, idemu bagus juga, baiklah ayo kita berangkat” ujar Aimba. Berangkatlah mereka berdua ke arah matahari terbit menyusuri kaki bukit.





Tatkala surya sudah berada di tengah cakrawala dan tumbuhan obat sudah banyak yang dikumpulkan, saatnya mereka beristirahat untuk makan. Aimba mencari tanah datar untuk tempat mereka makan. Suna segera menebas beberapa semak yang menghalangi tempat istirahat mereka, setelah semuanya selesai tibalah saatnya menyantap makanan yang mereka bawa. “ini ambillah, tadi aku menyiapkan panggangan ayam” ujar Suna. “kau sendiri yang memasak ini?” tanya Aimba, “iya !” jawab Suna. 

Belum sampai tangan kanan Aimba meraih makanan itu, tiba – tiba ada sesuatu yang bergerak dari arah sebelah kanan Aimba. Sesosok makhluk bertubuh panjang dan berwarna hitam merayap dari dalam semak dan daun. Makhluk itu segera mengangkat badan dan kepalanya dengan tinggi kemudian diam sambil sesekali menjulurkan lidahnya. Aimba dengan seksama mengawasi pergerakan makhluk yang melingkar itu. Ternyata makhluk itu langsung mematuk, tapi Aimba menarik tangan kanannya diputar kearah bawah dan berhasil menangkap pangkal kepalanya. Aimba memutar badannya dengan menarik kaki kanan ke belakang lalu memutar tangannya untuk menghempas makhluk itu. ”Matilah kau ular !” gumam Aimba, makhluk itu mati seketika karena setiap sendi tulangnya tertarik oleh kejutan tangan Aimba.

Setelah usai makan siang kedua sahabat itu, istirahat merekapun dilanjutkan dengan minum kopi. Tak lama setelah itu, Aimba tiba – tiba berdiri sembari mengisyaratkan untuk diam. Di kejauhan terdengarlah suara dari arah belakang kiri Suna seperti ada sesuatu yang lewat di balik semak – semak. “Anak rusa !” gumam Aimba, “ayo kita kejar !” jawab Suna sambil meraih perbekalan dan busur panah di sebelah kanannya. “Kau ke arah kananmu pintasi jalan dari depannya, aku menggiring dari belakang !” ujar Aimba, segera Suna menuju arah yang ditunjuk Aimba.

Saat Suna tepat berada di depan anak rusa itu, ia pun segera mengambil posisi siap memanah. Aimba yang berada di belakang rusa pun sudah siap dengan parangnya. Terlihat Aimba memberikan aba – aba untuk menyerang. Saat Suna menarik busurnya dan siap melepas, kaki Suna menginjak kayu kering dan kayu itu patah. “Kraaak” terdengar suara dari bawah kaki Suna, kontan saja anak rusa itu langsung belok ke kanan dan melesat. Anak panah pun melesat terlepas dari busurnya menuju ke arah anak rusa tadi dan menembus angin.

Melihat buruannya kabur, Aimba segera mengejar dengan melewati rintangan semak dan pepohonan yang rapat. Baru saja ia bergerak, “wuuuss” terdengar desir angin ditembus benda bergerak cepat dari arah kirinya. Aimba langsung melompat sambil memutar badan dan mengayunkan parangnya ke arah benda itu yang tak lain anak panah Suna. “Tiiiing” suara benturan parang dengan panah itu yang hanya berjarak satu jengkal dari kepala Aimba. Anak panah itu terpental menjauh menjadi dua bagian, Aimba segera menyusur tanah dan menggulingkan badannya ke depan. “ hati – hati Suna, ayo kejar lagi” teriak Aimba. Demi keamanan, Suna memberi jarak yang agak jauh dari Aimba dan perburuan dilanjutkan kembali dengan sekuat daya dan upaya.

Empat jam sudah pelarian anak rusa tersebut dilakukan, akhirnya takluk juga ditangan Suna di tepi danau di tengah hutan itu. Kali ini bukan panah yang menghujam rusa, tetapi parang yang ia gunakan. Lama Suna menunggu sambil menghilangkan lelah, sahabatnya tidak muncul juga. Air minumpun sudah habis demi menunggu Aimba. Dimanalah kau Aimba ? perasaannya mulai cemas memikirkan sahabatnya sang penakluk hutan. Akhirnya ia memutuskan untuk melangkah ke depan melanjutkan perjalanan di bawah rimbunnya hutan beriring langit mendung.

Anak rusa itu digendong dan diikat Suna di belakang diatas tas perbekalannya dengan tangan kanan memegang parang. Susah payah Suna menempuh perjalanan sembari menebas rintangan yang ada di depannya. Tak lepas di pikirannya dengan keberadaan Aimba, apakah ia masih di belakang ataukah sudah lebih dahulu melewatinya. Tak tahu, aku tidak tahu arah mana yang ku tuju bisik hatinya, Suna hanya mengikuti langkah kakinya.

Mungkinkah aku bisa pulang petang ini ?, kalimat itu selalu terlintas di benaknya. Melangkah dengan cepat sambil seksama mengawasi di sekitarnya, ia dengan sekuat tenaga memacu insting dan kemampuan melintasi hutan belantara bukit Melintang. Tak terasa langit mendung berubah hujan yang turun dengan derasnya. Dibawah rimbunnya pepohonan dan kilatan  cahaya petir, ia terus mencari tempat berlindung. Di kejauhan tampaklah sebuah lubang batu yang hampir tertutupi rimbunnya daun dan semak. Entah berapa banyak bekas luka goresan belukar berduri ranting dan kayu, akhirnya ia sampai juga di tempat itu.

Hari mulai gelap saat api mulai membakar daging hasil perburuan tadi. Air panas yang diambil dari danau tadi pun cukup untuk menghangatkan dari dinginnya angin. Dalam sunyi malam di tengah hutan itu ia terus memikirkan Aimba. Teringat olehnya cerita dari Ebrim bahwa sejak dari kecil Aimba sering ikut ayahnya menjelajahi hutan ini, Wak Inde panggilannya. Ayahnya selalu mengajarkan tentang cara bertahan hidup baik di desa maupun di hutan. Disamping itu, pamannya selalu mengajarkan manfaat dari tumbuhan yang hanya ada di dalam rimba. Akhirnya Suna mulai dapat menenangkan perasaannya.

Dalam kesunyian itu, tiba – tiba Suna dikejutkan oleh sesuatu yang tak ia sadari. “Hei, beri aku semangkuk air !”, tersentak ia dari tempat duduknya mencari asal suara itu, namun ia segera sadar dengan suara tadi yang sangat ia kenal. “Aimba ? Aimba, kapan kau tiba disini?”. Keluarlah gelak tawa Aimba melihat tingkah ia yang menunjukan kecemasan. “Aku tiba disini sebelum hujan tadi”. Lalu Aimba mengeluarkan bungkusan dalam tasnya dan berkata “Mengapa kau tak membuat kopi saja?, ini aku sudah siapkan !”. Lanjut Aimba “dimana busur dan anak panahmu” tanya Aimba, “panahku habis semua tak satupun mengenai rusa, sedangkan busurnya aku tinggalkan di tepi danau” jawab Suna. Aimba sambil tertawa “ apakah kau tak tahu jika pepohonan di hutan seperti ini ? “ tanya Aimba seraya menyilangkan jari kedua tangannya. “pepohonan di hutan ini sangat rapat, ditambah lagi semak – semak yang tumbuh di bawahnya “ jelas Aimba. “ pastilah dalam keadaan sambil berlari belum selesai kau tarik busur itu buruanmu sudah menghilang lebih dahulu” lanjut Aimba. Suna hanya mengangguk paham sambil mengunyah makanan.

“Asapkan daun pisang lalu balut daging buruan itu, gulung dengan kain lalu masukkan dalam plastik” pinta Aimba, “untuk ?” tanya Suna penasaran. Sambil tersenyum “daging akan awet dan tahan, asalkan tidak terkena air” jelas Aimba. “Dua hari sebelumnya aku bertemu Ebrim” ujar Aimba, “aku menceritakan rencana untuk pergi ke hutan mencari akar durian hutan dan tumbuhan obat lainnya” lanjutnya. “Apa katanya” tanya Suna, “ia menolak ikut, ajak saja teman yang lainnya” jelas Aimba. “ Tapi Ebrim berkata kepadaku bahwa nanti aku akan mendapatkan empat temuan, salah satunya menyenangkan” lanjut Aimba. “apa pula empat temuan itu wahai Ebrim ?” tanya Suna kepada Aimba. “Entahlah, aku kira itu hanya sekedar perkataan saja” jawab Aimba. Akhirnya mereka menghabiskan waktu malam sembari menyantap makanan sampai waktu kantuk tiba.

Saat pagi menyingsing, Aimba bangun lebih dahulu dan mengambil semangkuk air. Tak lama Aimba berkemas perbekalan dan merapikan tempat ia istirahat. Aimba terdiam saat sedang membersihkan tanah goa tempat mereka bermalam, setelah beberapa saat Aimba segera membangunkan temannya. “Suna, Suna, bangunlah, hari sudah terang”.  Suna terbangun dan duduk dari tidurnya, setelah beberapa saat, ia melakukan seperti yang Aimba lakukan tadi. Setelah cukup sadar akhirnya Aimba mengingatkan Suna , “Suna, kau lihat ini? Lihatlah sepanjang tanah ini”, ujar Aimba. “Apakah itu Aimba? Mengapa berwarna belang?” tanya Suna sembari melihat seluruh dasar goa. “ini adalah bulu Harimau!” jelas Aimba sambil menarik tangan Suna dan segera beranjak dari tempat itu. Ternyata mereka telah bermalam di sarang penguasa rimba, tetapi beruntungnya mereka tidak bertemu dengan penghuni goa, atau bisa jadi sang pemilik goa telah mengawasi mereka dari tempat tertentu. Aimba meletakkan sebagian daging buruan mereka yang belum dipanggang dan ditinggalkan di mulut goa, sebagai rasa berbagi atas hasil yang didapat serta rasa terima kasih terhadap makhluk yang telah merelakan tempatnya digunakan oleh makhluk lain.

Perlahan mereka meninggalkan tempat itu, Suna berjalan di depan sambil mematahkan ranting yang menghalangi jalan mereka dengan tangannya kanannya sehingga jalannya terbuka dengan ranting yang telah patah ke arah depan. Disusul Aimba yang selalu siap dengan parangnya untuk berjaga – jaga jika ada sesuatu yang membahayakan dari arah belakang mereka. Tetapi mereka selalu ingat pesan sesepuh desa bahwa Suatu hasil bergantung dari niatnya, jika niatmu bagus maka hasil yang baiklah didapat. Kamu tak akan diganggu jika kamu tidak mengganggu. Ketidaktahuanmu bukanlah suatu niat yang buruk, jika kamu sudah menyadari tempatmu salah, maka tinggalkan, kecuali itu memang sudah ditakdirkan jikapun harus bertemu. Suna berdoa semoga mereka segera keluar dari rasa yang mencekam. Mereka berdoa agar penghuni goa tadi tidak menjadi marah, karena mereka dalam keadaan terpaksa serta tak akan menyerang mereka.

Suna sudah sangat lelah berjalan membawa bungkusan daging, sedangkan Aimba membawa dua perbekalan sekaligus menyusuri hutan menuju jalan pulang. Perjalanan mereka tempuh hampir dua jam dan tibalah mereka di tepi anak sungai. “Setelah menyeberangi sungai ini, dan berjalan beberapa saat maka kita akan tiba di kebun warga” jelas Aimba. “Jaga agar bungkusan daging tidak basah dan letakkan di seberang sungai beserta perbekalan ini” lanjut Aimba. Akhirnya kedua sahabat itu mandi untuk menghilangkan lelah.

BERSAMBUNG !

********************
"Mohon Bantuan dan keikhlasannya untuk tonton sampai selesai dan subscribe channel youtube saya Day-X Studio yah..."
********************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar